Sebanyak 299 dari total 575 anggota DPR periode 2019-2024 merupakan kelompok Generasi X yang lahir pada rentang tahun 1965-1980.
BARISAN.CO – Bicara soal 575 anggota DPR di Senayan, agaknya kita perlu sejenak melupakan latarbelakang partai politik mereka. Ada pertalian lain di mana mereka menjadi bagiannya secara serentak yang sama-sama penting.
Mengidentifikasi 575 orang ini secara berbeda bisa jadi langkah untuk lebih memahami bagaimana mereka berpikir, bertindak, dan memutuskan. Selain latarbelakang parpol, kita juga perlu misalnya membahas gender, suku, ataupun usia, dll.
Secara menarik, publik jarang menyadari mayoritas anggota DPR hari ini datang dari kelompok usia yang lahir tahun 1965 sampai 1980. Dalam istilah populer, mereka disebut Generasi X.
Dihimpun dari situs resmi Senayan, ada 572 dari 575 anggota DPR yang datanya dapat dilihat publik. Ada sebanyak 299 orang merupakan Generasi X; 201 orang Baby Boomer; 70 orang Milenial; dan 2 orang silent generation.
Barangkali ini saat yang tepat untuk menyorot Generasi X secara serius. Kita sudah terlalu sering bicara Milenial dan masa depan bangsa.
Tetapi, kita melupakan bagaimana Generasi X, hari-hari ini, telah secara dominan bertindak sebagai pembuat keputusan penting dalam tata cara bernegara.
Pada berbagai diskusi akademik, Generasi X kerap disimpulkan sebagai kelompok yang serba inkonsisten. Mereka misalnya membawa nilai Baby Boomer sambil mendaku dirinya sebagai Milenial.
Selain itu, Generasi X juga sering disimpulkan punya karakter gegabah, pelupa, tergesa, tidak transparan, oportunis, serta sebagian besar mereka punya gaya hidup kurang sehat.
Di Indonesia, mereka dibesarkan oleh sisik melik Orde Baru. Mereka lama tertanam di depan layar TVRI. Musik-musik Kla Project dan Iwan Fals akrab di telinganya. Semasa anak-anak, Generasi X ingin menjadi ‘Si Doel anak sekolahan’. Semasa remaja, mereka bergaya dan bertingkah rebel mengikuti ‘Lupus’.
Apakah hal-hal tersebut berpengaruh bagi iklim Senayan sekarang? Kemungkinan besar. Ketika sebuah lingkungan didominasi kelompok orang dengan pikiran bawah sadar yang seragam, mereka cenderung luput mencermati berbagai nilai yang dibawa kelompok lain.
Di sinilah masalah harus dipecahkan. Di depan mata, yang paling perlu diwaspadai adalah gejala terhambatnya proses regenerasi kelompok yang lebih muda. Terdengar sangat klise, tapi, hambatan regenerasi jelas berdampak pada matinya kreativitas generasional.
Akan ada satu atau dua generasi yang potensi kepemimpinannya tidak tersalurkan. Hal ini bisa menjadi bibit apatisme maupun ketidakpercayaan yang sebagiannya sudah terjadi.
Mengacu pada survei yang dilakukan Indikator, ambil contoh, DPR hari ini menjadi lembaga yang kurang dipercaya.
Publik, terutama anak muda, justru lebih percaya media sosial daripada 575 orang yang dipilih secara sah pada pemilu 2019 yang menghabiskan anggaran Rp25,59 triliun ini. DPR dianggap tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi publik luas atas beragam isu.
Jelang pemilu 2024, perlu kekuatan besar generasi lebih muda untuk mengatur ulang proporsi kelompok penghuni Senayan.
Bagaimanapun, Indonesia adalah negara demokrasi dan secara teoritis negara demokrasi lebih memungkinkan munculnya politikus muda.
Di samping itu, perlu juga keikhlasan para ‘jago tua’ untuk melapangkan jalan bagi regenerasi. Partai politik juga diharapkan mau membuka ruang lebih luas bagi politikus muda untuk berperan lebih dari sekadar kosmetik elektoral.
Dengan begitu, kita bisa berharap terwujudnya Senayan yang lebih sehat dan dinamis. [dmr]