Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Barisan.co
Tak ada hasil
Lihat semua hasil
Beranda Opini

Geliat Cagar Budaya dan Gegap-Gempita Teknologi Digital: Milenial Dipihak Mana?

:: AA Rouf
4 Februari 2023
dalam Opini
Geliat Cagar Budaya

AA Rouf

Bagi ke FacebookCuit di TwitterBagikan ke Whatsapp

CAGAR budaya dan teknologi digital nampak mutlak perbedaannya. Secara kasat mata memang berbeda, cagar budaya identik dengan  masa lalu dan teknologi identik dengan kekinian serta kemajuan.

Kekinian, gelombang perkembangan teknologi digital tak bisa  dibendung , arusnya membanjiri kehidupan era sekarang. Pada  kehidupan milenial bahkan yang melahirkan generasi milenial turut akrab dengan banjir teknologi digital.

Ragam tindakan dan keputusan-keputusan keseharian lekat dengan pemanfaatan alat  yang dihasilkan teknologi digital. Perkembangan jaman memang  tak bisa dilawan, seperti banyak petuah bertebaran,

“Siapa yang  tidak mengikuti jaman akan tertinggal.”

BACAJUGA

Si Pitung Sunat

Sekolah Al-Azhar Pentaskan Drama Si Pitung Takut Sunat, Kenalkan Budaya Lokal

6 Maret 2023
Memetik Pelajaran dari Budaya Mengantre

Memetik Pelajaran dari Budaya Mengantre

29 Januari 2023

Di sisi lain, cagar budaya yang identik dengan masa lampau  bergeliat. Pegiat bahkan pemerintah sedang asyik mengerek tinggi keberadaannya. Cagar budaya menjadi eksotika baru di era gelombang teknologi kekinian. Semacam ada pengupayaan mendekatkan 2 kutub yang berjauhan.

Bagi milenial, cagar budaya  adalah masa lampau. Hidup membersamai teknologi digital dengan ragam alat yang tersedia adalah lifestyle milenial.

Suatu hari, seloroh bocah milenial, “Meja café tidak relevan lagi untuk pertunjukan pembacaan puisi melainkan ruang ngobrol  konten.”

Lebih dari itu, “Berbicara (saya menyebutnya pitutur solah bowo) adalah jokes bapak-bapak kelahiran tahun 60-an, ndak  masuk sama sekali untuk era sekarang” tambahnya.

Bisa jadi yang disampaikan bocah milenial tersebut benar. Dan juga  bisa jadi kurang tepat. Tinggal sudut pembacaannya dari mana.  Kendati ada probality tepat atau tidak , setidaknya memberi  gambaran nyata dan tegas bahwa milenial adalah teknologi digital.

Konteks bocah milenial berargumen demikan terjadi saat ada  obrolan tentang, wacana mengangkat pitutur solah bowo sebagai  narasi kegiatan. Riilnya, mengambil diksi lama “tunggak semi” sebagai platform gotong royong.

”Tunggak semi” yang merupakan  gambaran dari seseorang yang tidak pernah habis rejekinya (menurut kaidah jawa) dibawa atau dipakai sebagai semangat  metodologi penyelesaian permasalahan. Contoh semacam ini, ada  milenial yang baginya tak relevan.

Bagi milenial, konten adalah  kunci. Tepatnya, viral adalah solusi atas permasalahan apapun.

“Tunggak semi” merupakan diksi lama, dalam primbon jawa digambarkan siapa yang memiliki kelahiran sesuai indikatornya tidak akan habis rezekinya. Kontek pemajuan kebudayaan, diksi itu  termasuk 10 objek pemajuan, yaitu pitutur.

Cagar Budaya Adalah Tentang Ide dan Nilai

Tentang filosofi, cagar budaya menekankan nilai melestarikan apa  yang penting dalam masyarakat kita; tentang pola pikir, cagar  budaya menegaskan pemahaman tentang perbedaan antara  perubahan dan kemajuan, anatara baru dan lebih baik, antara  kebenaran abadi, nilai-nilai abadi, serta mode dan mode saat ini;  tentang pelestarian budaya, cagar budaya merupakan sebuah  gerakan, karena mendorong dan menginspirasi kita untuk bekerja  sama melestarikan budaya terbaik kita dan melihat bahwa warisan ini diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Kemajuan teknologi digital saat ini, dirasakan atau tidak  memengaruhi dan membentuk perilaku baru. Yang kemudian hari akan menjadi budaya baru. Media sosial akan membentuk perilaku, lalu budaya baru. Kita bisa melihat dan merasakannya, kalau mau  jujur.

Kata kunci VIRAL bisa menjadi pintu masuk pembacaan pola  perubahan perilaku yang dihasilkan media sosial bahkan jurnalisme  kita. Dampaknya, kita bisa melihat kualitas konten kita.

Aplikasi yang dihasilkan dari pemanfaatan teknologi digital atau  internet, yang kita kenal dengan platform digital, seperti yang kita pakai sehari-hari juga bisa kita lihat, memengaruhi dan membentuk perilaku baru atau tidak?

Pribadi terkemuka, Gita Wiryawan pernah mengatakan, “Banyak  platform yang lahir di negeri kita kering filosofi.” Pembacaan liar  saya, paltform yang ada di negeri kita dilahirkan atas latar belakang

kebutuhan pasar belaka bukan atas dasar peningkatan kualitas  manusia, mengangkat martabat manusia serta pemberdayaan nilai.  

Dampaknya, tidak sedikit yang tumbang sebelum tanggal kalender bulanan habis. Sekali lagi, tidak hendak mencari perbedaan dulu dan kini,  kemajuan dan ketertinggalan, cagar budaya dan teknologi digital.

Semestinya, apa yang kita kenal dengan platform tidak semata-mata  milik apapun yang bisa kita unduh di playstore. Platform merupakan titik temu bagi banyak pihak dengan secara suka rela;  platformi bisa saja ide, narasi, dan gagasan bahkan nilai.

Contoh, “Gotong Royong” adalah platform bonding sosial. Contoh lain, “Sambatan” adalah platform kerja sama. Baik gotong royong  maupun sambatan adalah platform berbasis nilai.

Cagar budaya bisa kita posisikan sebagai platform.Wadah untuk  menemukan, mempelajari, memahami nilai, cara, teknologi, metodologi , konsep, gagasan, ide dari pendahulu. Contoh, Era  Kalingga, Jaman Ratu Shima memiliki sistem ”Tanibala” yaitu  sebuah sistem yang mengatur ragam aktivitas masyarakat tani  termasuk pengaturan irigasi bahkan cara pemanfaatan kawasan pertanian: pemilihan tananam dan sebagainya.  ”Tanibala” sebagai nilai, kala itu berpengaruh besar terhadap masyarakat tani.

Bagaimana memosisikan alam, tanaman, dan sesama petani.  Terdapat relasi antara manusia-alam-Tuhan yang ujungnya  martabat manusia terjaga, yaitu menjadi hamba di hadapan  Tuhannya-Menjadi keluarga di hadapan alam. Dampaknya, ada  harmoni manusia dan alam. Akhirnya berbuah minimalisasi pengrusaka terhadap alam.

Baik cagar budaya dan teknologi digital merupakan sama-sama  sebuah platform. Bila bisa lebur kenapa harus dipertentangkan, PR  kita bersama sebagai milenial mencari titik temu. Tugas jaman kita  adalah meninggalkan budaya yang kelak di lihat anak-anak kita.

Riilnya, minimal mengurang model konten mengguyur kakek[1]nenek untuk mendapatkan saweran. Bagi yang sedang bergiat bidang cagar budaya, keberadaannya  bukan semata papan nama bertuliskan “situs budaya xxxx” cagar  budaya adalah platform.

Begitu juga bagi yang bergiat bidang  teknologi digital tidak berhenti pada pemikiran aspek kebutuhan pasar, atau rela “membodohkan” diri sekadar untuk memenuhi  indikator viral yang bertujuan pada popularitas hingga cuan.

Topik: BudayaCagar BudayaMilenialTanibalaTunggak Semi
AA Rouf

AA Rouf

Pegiat Literasi

POS LAINNYA

Melemahnya Gerakan Sipil
Opini

Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

27 Maret 2023
Puasa, Zakat dan Transformasi Sosial
Opini

Puasa, Zakat dan Transformasi Sosial

25 Maret 2023
pelarangan thrifting
Opini

Drama Pelarangan “Thrifting” Import

25 Maret 2023
Timnas Israel Bertanding di Indonesia, Jokowi Gagal Jadi ‘Little Sukarno’
Opini

Timnas Israel Bertanding di Indonesia, Jokowi Gagal Jadi ‘Little Sukarno’

24 Maret 2023
Larangan ASN Buka Puasa Bersama
Opini

Larangan ASN Buka Puasa Bersama Tidak Konsisten dengan Narasi Pemulihan Ekonomi

24 Maret 2023
Memangkas Reproduksi Kekerasan di Kampus Islam
Opini

Memangkas Reproduksi Kekerasan di Kampus Islam

22 Maret 2023
Lainnya
Selanjutnya
3 Petani Pakel

3 Petani Pakel Banyuwangi Ditangkap, Aliansi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Segera Selesaikan Kasus Pakel

Perkuat Jaringan Jateng, Relawan ANIES Tingkat Kecamatan Kebumen Resmi Dibentuk

Perkuat Jaringan Jateng, Relawan ANIES Tingkat Kecamatan Kebumen Resmi Dibentuk

TRANSLATE

TERBARU

Sejarah Asal Usul Penggunaan Mukena dalam Sholat, Bolehkah Berwarna-Warni?
Sosial & Budaya

Sejarah Asal Usul Penggunaan Mukena dalam Sholat, Bolehkah Berwarna-Warni?

:: Thomi Rifai
27 Maret 2023

BARISAN.CO - Mukena merupakan salah satu busana yang sudah lama dipakai oleh kaum hawa, terutama para muslim wanita di Indonesia...

Selengkapnya
putra nabi muhammad

Putra-Putri

27 Maret 2023
Melemahnya Gerakan Sipil

Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

27 Maret 2023
Kisah Umar bin Khattab Membantak Malaikat Munkar Nakir

Kisah Umar bin Khattab Membentak Malaikat Munkar Nakir di Alam Kubur

27 Maret 2023
Mengenal Asal Muasal Sarung, Kain Serbaguna yang Menjadi Identitas Bangsa

Mengenal Asal Muasal Sarung, Kain Serbaguna yang Menjadi Identitas Bangsa

26 Maret 2023
Lainnya

SOROTAN

Melemahnya Gerakan Sipil
Opini

Mengulik Melemahnya Gerakan Sipil dan “Student Movement”

:: Pril Huseno
27 Maret 2023

Melemahnya Gerakan Sipil

Selengkapnya
Puasa, Zakat dan Transformasi Sosial

Puasa, Zakat dan Transformasi Sosial

25 Maret 2023
pelarangan thrifting

Drama Pelarangan “Thrifting” Import

25 Maret 2023
Timnas Israel Bertanding di Indonesia, Jokowi Gagal Jadi ‘Little Sukarno’

Timnas Israel Bertanding di Indonesia, Jokowi Gagal Jadi ‘Little Sukarno’

24 Maret 2023
Larangan ASN Buka Puasa Bersama

Larangan ASN Buka Puasa Bersama Tidak Konsisten dengan Narasi Pemulihan Ekonomi

24 Maret 2023
Memangkas Reproduksi Kekerasan di Kampus Islam

Memangkas Reproduksi Kekerasan di Kampus Islam

22 Maret 2023
  • Tentang Kami
  • Kontak
  • Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Indeks Artikel

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang

Tak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Terkini
  • Senggang
  • Fokus
  • Opini
  • Kolom
    • Esai
    • Analisis Awalil Rizky
    • Pojok Bahasa & Filsafat
    • Perspektif Adib Achmadi
    • Kisah Umi Ety
    • Mata Budaya
  • Risalah
  • Sastra
  • Khazanah
  • Sorotan Redaksi
  • Katanya VS Faktanya
  • Video

BARISAN.CO © 2020 hak cipta dilindungi undang-undang