CAGAR budaya dan teknologi digital nampak mutlak perbedaannya. Secara kasat mata memang berbeda, cagar budaya identik dengan masa lalu dan teknologi identik dengan kekinian serta kemajuan.
Kekinian, gelombang perkembangan teknologi digital tak bisa dibendung , arusnya membanjiri kehidupan era sekarang. Pada kehidupan milenial bahkan yang melahirkan generasi milenial turut akrab dengan banjir teknologi digital.
Ragam tindakan dan keputusan-keputusan keseharian lekat dengan pemanfaatan alat yang dihasilkan teknologi digital. Perkembangan jaman memang tak bisa dilawan, seperti banyak petuah bertebaran,
“Siapa yang tidak mengikuti jaman akan tertinggal.”
Di sisi lain, cagar budaya yang identik dengan masa lampau bergeliat. Pegiat bahkan pemerintah sedang asyik mengerek tinggi keberadaannya. Cagar budaya menjadi eksotika baru di era gelombang teknologi kekinian. Semacam ada pengupayaan mendekatkan 2 kutub yang berjauhan.
Bagi milenial, cagar budaya adalah masa lampau. Hidup membersamai teknologi digital dengan ragam alat yang tersedia adalah lifestyle milenial.
Suatu hari, seloroh bocah milenial, “Meja café tidak relevan lagi untuk pertunjukan pembacaan puisi melainkan ruang ngobrol konten.”
Lebih dari itu, “Berbicara (saya menyebutnya pitutur solah bowo) adalah jokes bapak-bapak kelahiran tahun 60-an, ndak masuk sama sekali untuk era sekarang” tambahnya.
Bisa jadi yang disampaikan bocah milenial tersebut benar. Dan juga bisa jadi kurang tepat. Tinggal sudut pembacaannya dari mana. Kendati ada probality tepat atau tidak , setidaknya memberi gambaran nyata dan tegas bahwa milenial adalah teknologi digital.
Konteks bocah milenial berargumen demikan terjadi saat ada obrolan tentang, wacana mengangkat pitutur solah bowo sebagai narasi kegiatan. Riilnya, mengambil diksi lama “tunggak semi” sebagai platform gotong royong.
”Tunggak semi” yang merupakan gambaran dari seseorang yang tidak pernah habis rejekinya (menurut kaidah jawa) dibawa atau dipakai sebagai semangat metodologi penyelesaian permasalahan. Contoh semacam ini, ada milenial yang baginya tak relevan.
Bagi milenial, konten adalah kunci. Tepatnya, viral adalah solusi atas permasalahan apapun.
“Tunggak semi” merupakan diksi lama, dalam primbon jawa digambarkan siapa yang memiliki kelahiran sesuai indikatornya tidak akan habis rezekinya. Kontek pemajuan kebudayaan, diksi itu termasuk 10 objek pemajuan, yaitu pitutur.