Scroll untuk baca artikel
Blog

Geliat Cagar Budaya dan Gegap-Gempita Teknologi Digital: Milenial Dipihak Mana?

Redaksi
×

Geliat Cagar Budaya dan Gegap-Gempita Teknologi Digital: Milenial Dipihak Mana?

Sebarkan artikel ini

CAGAR budaya dan teknologi digital nampak mutlak perbedaannya. Secara kasat mata memang berbeda, cagar budaya identik dengan  masa lalu dan teknologi identik dengan kekinian serta kemajuan.

Kekinian, gelombang perkembangan teknologi digital tak bisa  dibendung , arusnya membanjiri kehidupan era sekarang. Pada  kehidupan milenial bahkan yang melahirkan generasi milenial turut akrab dengan banjir teknologi digital.

Ragam tindakan dan keputusan-keputusan keseharian lekat dengan pemanfaatan alat  yang dihasilkan teknologi digital. Perkembangan jaman memang  tak bisa dilawan, seperti banyak petuah bertebaran,

Siapa yang  tidak mengikuti jaman akan tertinggal.”

Di sisi lain, cagar budaya yang identik dengan masa lampau  bergeliat. Pegiat bahkan pemerintah sedang asyik mengerek tinggi keberadaannya. Cagar budaya menjadi eksotika baru di era gelombang teknologi kekinian. Semacam ada pengupayaan mendekatkan 2 kutub yang berjauhan.

Bagi milenial, cagar budaya  adalah masa lampau. Hidup membersamai teknologi digital dengan ragam alat yang tersedia adalah lifestyle milenial.

Suatu hari, seloroh bocah milenial, “Meja café tidak relevan lagi untuk pertunjukan pembacaan puisi melainkan ruang ngobrol  konten.”

Lebih dari itu, “Berbicara (saya menyebutnya pitutur solah bowo) adalah jokes bapak-bapak kelahiran tahun 60-an, ndak  masuk sama sekali untuk era sekarang” tambahnya.

Bisa jadi yang disampaikan bocah milenial tersebut benar. Dan juga  bisa jadi kurang tepat. Tinggal sudut pembacaannya dari mana.  Kendati ada probality tepat atau tidak , setidaknya memberi  gambaran nyata dan tegas bahwa milenial adalah teknologi digital.

Konteks bocah milenial berargumen demikan terjadi saat ada  obrolan tentang, wacana mengangkat pitutur solah bowo sebagai  narasi kegiatan. Riilnya, mengambil diksi lama “tunggak semi” sebagai platform gotong royong.

Tunggak semi” yang merupakan  gambaran dari seseorang yang tidak pernah habis rejekinya (menurut kaidah jawa) dibawa atau dipakai sebagai semangat  metodologi penyelesaian permasalahan. Contoh semacam ini, ada  milenial yang baginya tak relevan.

Bagi milenial, konten adalah  kunci. Tepatnya, viral adalah solusi atas permasalahan apapun.

“Tunggak semi” merupakan diksi lama, dalam primbon jawa digambarkan siapa yang memiliki kelahiran sesuai indikatornya tidak akan habis rezekinya. Kontek pemajuan kebudayaan, diksi itu  termasuk 10 objek pemajuan, yaitu pitutur.