Scroll untuk baca artikel
Blog

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Redaksi
×

Narasi –  Cerpen Noerjoso

Sebarkan artikel ini

Bajingan!” umpat Kasdi setengah berbisik ketika Kabul tiba-tiba telah ikut berjongkok di sampingnya.  Hampir saja jantung Kasdi copot karena terkejut. Namun begitu Kabul hanya membalas dengan membuat isyarat agar Kasdi tidak bersuara lebih keras lagi.  Jari telunjuknya ia tempelkan di depan mulutnya sambil mendesis pelan.

“Mengapa kamu ada di sini?” tanya Kabul pada Kasdi.  Suaranya pelan sekali seperti tengah berbisik.

“Lha Kang Kabul sendiri kenapa juga ada di sini?” tanya balik Kasdi pada Kabul tanpa melihat wajah Kabul barang sedetikpun.  Pandangan matanya tak sedikitpun lepas dari segerombolan orang yang berjarak ratusan meter dari tempat mereka bersembunyi.

“Lihatlah!  Apa yang mereka lakukan di sana itu?” sahut Kasdi sambil menunjuk beberapa orang dari kota yang didampingi oleh kepala desa dan pak camat.  Beberapa polisi bersenjata juga terlihat membarengi orang-orang kota tersebut. 

Untunglah tubuh kedua pemuda desa itu tertelan oleh rimbunnya semak belukar, sehingga keduanya dengan leluasa mengamati seluruh gerak-gerik rombongan yang dipimpin oleh Pak Camat tersebut.  Apalagi posisi mereka bersembunyi berada di sebuah gundukan bukit kecil.  Sehingga mereka berdua dengan leluasa mengamati tanpa takut ketahuan. 

Beberapa orang terlihat memasang tanda seperti tiang besi. Di ujung tiang besi tersebut terdapat bendera kecil berbentuk segi tiga berwarna putih.  Tinggi tiangnya mungkin tak lebih dari 2 meter.

Sementara itu beberapa orang yang lain sibuk mengintip posisi-posisi masing-masing tiang yang telah ditancapkan tersebut dengan sebuah teodolit.  Setiap kali orang tersebut habis mengintip teodolitnya, ia lalu berteriak-teriak kepada beberapa orang  yang bertugas membawa tiang besi untuk menggeser tiang bendera  yang semula ditancapkannya.  Dan ketika dirasa sudah pas dengan yang dimaksud. 

Lelaki itu segera memerintahkan untuk menancapkan tiang tersebut.  Tak jauh dari orang-orang yang sibuk dengan teodolit dan tiang bendera kecil itu, Pak Kades ditemani dengan Pak Camat serta seorang lelaki berbaju putih bersih terlihat mengamati sebuah peta yang digelar di atas tanah. 

Setiap kali lelaki berbaju putih tersebut menunjuk  pada lembaran peta, Pak Kades dan Pak Camat menyambutnya dengan tawa riang.  Tak terkecuali dengan beberapa polisi yang berada di dekat mereka bertiga. 

“Rupanya slentingan proyek jalan Tol itu benar adanya Kang!” ucap Kasdi lirih kepada Kabul.

“Betul!  Kalau melihat tiang-tiang kecil yang ditancapkan itu, tampaknya jalan tol itu akan menerjang kawasan tegalan serta pemukiman warga desa kita,” jawab Kabul dengan nada geram.

“Bukan hanya tegalan.  Jalan itu juga akan menerjang bak penampung air dari mata air!”  jawab Kasdi sambil tangannya menunjuk sebuah bendera yang tertancap di sebelah kanan dan kiri bangunan penampung air bersih yang digunakan sebagai sarana MCK warga desa.

“Orang-orang kota itu memang keparat!  Lha kalau tegalan-tegalan itu diterjang jalan tol, memangnya warga suruh bertani di atas jalan tol gitu?” tanya Kabul pada Kasdi masih dengankemarahannya.  Ia tahu Kasdi juga tak mungkin dapat menjawab pertanyaannya.

Ndasmu atos!  Aku juga tidak tahu!” jawab Kasdi sambil menggerutu.

“Kita harus memberitahukan kepada warga desa.  Kita harus menolaknya!” sahut Kabul bersemangat.

“Betul!  Kalau sampai tegalan warga dijadikan jalan Tol, lha terus kita suruh kerja apa?”

Nyapu jalan Tol!” jawab Kasdi sekenanya yang selanjutnya disusul dengan tinju Kabul yang diarahkan ke lengan Kasdi.  Hampir saja Kasdi terjerembab ke samping jika tidak segera meraih batang pohon yang tumbuh di sebelahnya.