Oleh: Eko Tunas
Barisan.co – PADA GILIRANNYA saya menemukan puisi yang sungguh puisi, sebab benar-benar tidak bergaya. Tidak mengawang dalam sekadar gaya. Tidak memperlakukan bahasa secara semena-mena. Puisi yang tidak boleh disebut luarbiasa, tapi justru mesti dibilang biasa saja. Puisi yang tampak penyairnya, bukan seperti wong kampungan memperlakukan bahasa sehingga jadi norak dalam berbahasa.
Sungguh ini puisi yang sudah tidak membutuhkan pujian hanya karena soal fisik bentuknya. Puisi yang tidak lagi memerlukan kritik dari kritikus dungu yang tergila-gila artistika/estetika bahasa, kritikus linglung penyuka bahasa akrobatik berisi kata-kata tong setan, dalam politik identitas yang menjurus pada arogansi dalam sastra.
Puisi yang mana, dan siapa nama penyairnya. Sebentar, saya masih ingin berbicara mengenai arogansi dalam sastra. Arogansi yang didorong oleh sikap penyairnya, yang mau menjauhkan diri dari masyarakat, supaya dianggap sebagai dewa-dewa di kahyangan. Mereka begitu arogan dalam berbahasa, dalam napsu personae subyektif-individual artistika/estetika bahasa dalam karya mereka. Lalu dengan jumawa mereka menuding: rakyat buta sastra.
Dalam politik identitas semacam itu, oleh para kritikus pendukung, karya-karya arogan itu didudukkan sebagai kanon, atau pusat kerajaan sastra. Tak kepalang tanggung, kelatahan gaya pun berlangsung tanpa bisa dielakkan. Betapa sastra menjelma dunia latah, kebesaran form/bentuk dengan content/isi nol besar. Ibarat anda masuk mall hanya untuk mendapatkan celanadalam. Itulah politik identitas dalam kapitalisme global, yang melanda dunia sastra kita.
MARTIN SURYAJAYA, dalam buku 3T, menghadapkan kelatahan atas arogansi sastra melalui seorang penyair dan ekornya. Martin justru secara tidak langsung, mau menyebut kecenderungan puisi penyair dan ekornya ini sebagai puisi obskur (:tidak jelas, justru karena kiprahnya tidak diketahui masyarakat). Perhatikan puisi penyair obskur Yusrizal:
Seseorang berdiam dalam word
Dan berpikir lama tentang alam semesta
Dalam sebuah jarak yang memisahkan Batavia dari Jakarta
Sebuah kolera yang dikemas dalam zip
Dititipkan pada laut dalam format A5
Seseorang seperti sedang menulis
Di pusat nasib yang ditenggelamkan virus-virus
Seekor tahun dalam abad-abad enskripsi
Membicarakan kekekalan alam semesta
Seperti sebuah tangan yang memancing
Sebuah gaung dari dunia: no result found
(Suatu Pagi dalam Sebuah Data, 90)
Anda boleh tertawa membaca kekonyolan yang dihadapkan Martin atas kenorakan puisi obskur, yang tidak dikenal masyarakat, tapi menjadi pemicu kelatahan arogansi dalam puisi. Perhatikan abnormalisasi kata-katanya, yang mengingatkan kita pada racauan Kukuh, danyang TBRS senior Martin. Lebih miringnya lagi, kepenyairan Yusrizal diekori banyak penyair di Indonesia. Seperti yang diwakilkan penyair obskur (wanita) Rina Novita Herliany:
perempuan dalam kurung spasi memikat basah malam koma
adalah sebuah tandatanya tidak ada yang memberi spasi tidak ada yang memberi spasi masuklah dalam tubuh enter
masuklah lewat jantung hatiku enter
Lebih tragis, dikabarkan dalam rencana buku politik identitas 100 penyair, nama penyair obskur Yusrizal mengalami penolakan. Akan tetapi, sejumlah ekornya justru dimasukkan dalam gerombolan 100 yang kandas sebab menuai banyak kritik atau protes. Satu kegilaan yang nyaris berlangsung dalam sejarah sastra Indonesia, dan itu ditragik-komikkan Martin dalam buku puisinya: Terdepan, Terluar, Tertinggal — Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045.
DALAM TULISAN saya terdahulu tentang buku 3T Martin Suryajaya, saya menyinggung mengenai kecenderungan penyair Semarang yang disodorkan Martin dalam puisi penyair obskur Lindu Aji. Kecenderungan puisi yang bebas menggunakan kata-kata, sebab baginya bahasa itu merdeka, dan lebih dari itu ia menulis puisi berdasar peristiwa. Ada pun penyair yang sejak awal tulisan ini mau saya kedepankan, mempunyai kekhasan sama sebagai penyair Semarang non 3T, seperti yang tampak dalam puisi ini: