Scroll untuk baca artikel
Sastra

Homo Fabulans – Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

×

Homo Fabulans – Puisi Muhammad Asqalani eNeSTe

Sebarkan artikel ini
Homo Fabulans
Ilustrasi

Homo Fabulans

sembilan puluh sembilan sajak tenggelam ke dalam tidurmu,
rembulan mengintai di langit yang uzur, sebuah buku mendengkur,
secarik mimpi melayang di atas kemungkinan-kemungkinan musykil.

seperti inilah kita mengikat tubuh kepada rubuh metafora,
padi-padi akal jadi gulma, sedang makna karam di dalam capah;
kita mengayuh sehirup demi sehirup hidup yang kian cungkup.

baik-baiklah berbiak biji diksi, katamu di bawah dentum musik
dan hingar disko. aku bukan penyair, kau bukan pembaca,
kenapa kita merasa sastra?

sedang buku-buku ditulis, manusia-manusia makin magis;
seratus tahun kesunyian, tiga petapa, lapar, Anna Karenina

begitulah kita menyalin rupa, di kanon-kanon karya yang konon,
jadi pohon mohon–semoga.

Kubang Raya, Mei MMXXV

Silsilah Hidup

siapa menggali tanah, membikin liang, mengubur tiap kepala
ke dalam kepalan dendam, di tiap simpang, pada siur hatinya.

mungkin, dulu ia bocah lampin, yang menangis di bawah lampu togok,
tapi semua jadi padam, ibunya kram, ayahnya karam, ia jadi biduk sendirian.

lautan hidup serupa kentut, berbuih nyaris tak terdengar, tapi baunya menguar,
sebentar. tapi bikin pingsan bagi yang tak sanggup berenang; di pangkalan zat asam.

apa kau baik-baik saja? ini kepala ke berapa?

tiba-tiba kau terjaga. mimpi yang bikin kau basah lagi, lebih parah dari onani.

Kubang Raya, Mei MMXXV

Bunga Kertas
bagi Ilham Nuryadi Akbar

darah haram mengering, katamu Ilham?
lalu apakah hidupmu yang layu adalah ibarat bunga halal?

jika seluruh prasangka mekar sebagai rafflesia, jika seluruh bunga bangkai
adalah surga bagi flora. apakah hidung manusia adalah sumber segala bau?

halal haram adalah bunga kertas, bukan kertas yang tumbuh jadi bunga,
tapi tubuhmu dengan otak remuk, yang gagal menumbuhkan onak.

rebah umpama rubah berbulu dandelion

Kubang Raya, Mei MMXXV

Besar – Kecil

mulut besar bagi pembesar. mulut kecil bagi orang kecil?

orang besar berkata barbar di atas mimbar tanpa sadar.
orang yang mendengar serupa ular melingkar, tidur dan mendesis,
berganti kulit seperti penyakit.

orang kecil ke kamar kecil, membayar air seni dengan dua ribu perak.
sebenarnya mereka berak, sambil merenungi hidup yang serak,
juga orang-orang serakah.

orang besar orang kecil bertemu setelah dari kamar kecil.
orang besar menahan kentut, orang kecil kelepasan kentut.

mereka ingin mengadu nasib di lubang Tuhan?

Kubang Raya, Mei MMXXV

Pak Sani

lelaki tua yang memiliki denah rumah ibuku adalah Sani.
ia tak pernah sekolah, dan lupa cara membaca. ia kerap tertawa
di antara giginya yang hampa, dan sirih merah darah dengan keras
pinang di selanya.