BARISAN.CO – Pakaian tradisional Kebaya akan dinominasikan untuk masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Nominasi kebaya ini merupakan upaya multinasional dari empat negara Asia Tenggara, yaitu Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand.
Menurut Dewan Warisan Nasional (NHB) Singapura kebaya akan secara resmi dinominasikan untuk Daftar Perwakilan Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan UNESCO pada 23 Maret 2023. Ini akan menjadi nominasi multinasional pertama dari Singapura untuk daftar tersebut.
“Kebaya telah, dan terus menjadi, aspek sentral dalam representasi dan tampilan warisan budaya dan identitas Melayu, Peranakan dan komunitas lainnya di Singapura. Dan merupakan bagian integral dari warisan kami. Sebagai kota pelabuhan multikultural, dengan hubungan lintas Asia Tenggara dan dunia,” kata CEO NHB Chang Hwee Nee sebagaimana dilansir Straits Times.
Nominasi bersama menggarisbawahi multikulturalisme dan akar bersama wilayah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. NHB mengatakan, Malaysia telah mengusulkan dan mengkoordinasikan nominasi multinasional. Gagasan itu dibahas sebagai bagian dari rangkaian rapat kerja di antara sejumlah negara pada 2022.
Brunei, Malaysia, Singapura, dan Thailand setuju untuk bekerja sama dalam nominasi. Keempat negara menyambut negara lain untuk bergabung dalam nominasi tersebut.
Sejarah Kebaya
Kebaya adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita di Nusantara. Terbuat dari kain kasa yang dipadukan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional lainnya seperti songket dengan motif warna-warni.
Sejarah kebaya diyakini berasal dari negara Arab. Orang Arab membawa baju kebaya (yang merupakan bahasa Arab untuk “abaya”) ke Nusantara ratusan tahun yang lalu.
Kemudian menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi. Setelah ratusan tahun asimilasi budaya, pakaian tersebut diterima oleh masyarakat setempat.
Namun ada pendapat lain yang meyakini, kebaya datang dari China, lalu menyebar ke Malaka, Sumatra, Jawa, Bali, dan Sulawesi setelah migrasi warga China ke Asia Tenggara.
Perkembangan Model Kebaya
Bentuk awal kebaya diyakini berasal dari Kerajaan Majapahit (berkuasa hingga 1389), yang digunakan permaisuri dan selir untuk menutupi tubuh yang hanya beralas kemben. Di masa itu kemben merupakan pakaian utama.
Ketika Islam masuk ke nusantara, perempuan kraton mulai menutupi tubuhnya dengan kain tambahan dengan bentuk yang sekarang kita kenal dengan kebaya.
Selanjutnya kebaya menjadi pakaian kebesaran perempuan kraton Jawa di Abad ke-V. Dengan bahan berupa beludru, sutra ataupun brokat yang digunakan dengan bros dan kain panjang. Masyarakat biasa pun menggunakan kebaya, dengan bahan lebih ringan semacam kain tisu atau sifon tanpa hiasan bros meski masih menggunakan kain panjang.
Di masa penjajahan, perempuan Belanda yang tinggal di tanah air pun kerap mengenakan kebaya dalam agenda resmi. Mereka menjadikan pakaian ini sebagai identitas kasta. Mengikuti para perempuan kraton yang di masa itu memiliki derajat sosial lebih tinggi dibanding masyarakat biasa.
Setelah penjajahan Belanda, kebaya mengambil peran baru sebagai pakaian formal bagi perempuan Eropa di negara tersebut. Selama ini, kebaya sebagian besar dibuat dari kain mori. Modifikasi yang dilakukan pada kostum tradisional ini kemudian memperkenalkan penggunaan sutra dan bordir untuk menambah desain dan warna.
Bentuk paling dominan dari kebaya yang dikenakan di pulau Jawa dan Bali saat ini, dapat dilihat dari kebaya yang dikenakan di Jawa dan Sunda dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 dan seterusnya.