SALAH satu fokus perbincangan panas terakhir terkait proses legislasi di parlemen RI adalah bagaimana agar pembuatan aturan berupa Rancangan Undang-undang (RUU) tidak kerap menimbulkan protes keras publik.
Protes muncul karena proses legislasi dianggap menyepelekan aspirasi dan partisipasi publik, naskah akademik yang lemah sampai pada waktu penyusunan dan proses pengesahan RUU menjadi Undang-undang (UU) yang dipandang terlalu terburu-buru.
Keriuhan baru ihwal penyusunan dan pengesahan RUU menjadi UU kembali hadir ketika RUU-KUHP disahkan oleh DPR RI pada Selasa (06/12/2022). RUU-KUHP menjadi kontroversi publik karena memiliki 14 pasal krusial yang hingga saat disahkan masih ramai dibahas.
Menteri Yasonna Laoly sempat mengatakan bagi yang masih penasaran dengan pengesahan RUU KUHP silakan menyampaikan keberatan melalui pintu MK. Tetapi Yasonna lupa, persoalannya bukan pada mekanisme gugatan via MK – yang terakhir telah 21 kali menolak gugatan publik tentang Presidential Treshold 20% – namun pengabaian kepada suara penolakan dan partisipasi masyarakat, seolah telah menjadi hal yang lumrah sejak pengesahan revisi Undang-undang KPK, UU Omnibus Law, dan UU Minerba beberapa waktu lalu.
Hal itu jika dibiarkan terus terjadi, akan menjadi preseden ke depan bahwa eksekutif dan legislatif dapat melenggang seenaknya dalam menyusun Undang-undang dan menganggap suara penolakan dan permintaan partisipasi masyarakat bagai angin lalu yang tidak perlu “direken”.
Sebagaimana diketahui pada akhir 2019 lalu, bersamaan dengan protes masyarakat dan mahasiswa terhadap Revisi UU KPK, suara penolakan terhadap RUU KUHP telah kencang pula diteriakkan. 14 Pasal krusial yang dipermasalah di antaranya adalah soal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wapres pada pasal 218, yang dapat dikenai pidana penjara 3 tahun.
Penolakan beberapa pasal lain, kini disuarakan juga oleh LBH Jakarta dan pengacara kondang Hotman Paris yang meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan RUKUHP baru.
Pengabaian terhadap pastisipasi publik dan suara penolakan masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja/Omnibus Law (UU No 11/2020) juga terjadi ketika LKS Tripartit Nasional menyatakan tidak pernah diikutsertakan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasan draft RUU Ciptaker hingga pada saat RUU tersebut disahkan menjadi Undang-undang.
Padahal, Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit nasional dibentuk oleh Presiden dan bertanggungjawab terhadap Presiden. Namun, sejak awal hingga pengesahan UU Ciptaker LKS Tripartit Nasional tidak pernah dimintakan saran, pendapat ataupun usulan terkait RUU tersebut.
Para anggota LKS Tripartit Nasional tersebut juga mengaku tidak pernah menerima draft RUU Ciptaker dari pemerintah. Sesuatu yang amat mengherankan.
Pelibatan publik dan perhatian terhadap suara-suara menolak ataupun mendukung segala Rancangan Undang-undang seharusnya tidak menjadi persoalan besar manakala pihak legislatif atau eksekutif memahami benar bahwa rencana aturan hukum yang disahkan menjadi Undang-undang akan dirasakan sendiri oleh masyarakat.
Dampak langsung atau tidak langsung, masyarakatlah yang akan menerima sanksi jika melanggar Undang-undang.
Tidak hanya sanksi, risiko terkena dampak rusaknya lingkungan berupa banjir dan bencana alam lainnya juga akan langsung dirasakan masyarakat, jika aturan perundangan yang mengatur ekploitasi sumber daya alam dibuat terlalu menguntungkan perusahaan.
Lagipula, harus kembali disadari bahwa pelibatan masyarakat dalam setiap pembuatan produk Undang-undang didasarkan pada 3 Landasan yakni Landasan Filosofis, Landasan Yuridis, dan Landasan Sosiologis.