Scroll untuk baca artikel
Blog

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Redaksi
×

Parlemen, Copras-capres dan Kebutuhan Sistem Alternatif

Sebarkan artikel ini

PERTANYAAN menggelitik yang patut diajukan untuk mengevaluasi sistem politik di Indonesia masa kini adalah : Apakah praktik politik yang berkembang saat ini telah berhasil merepresentasikan prinsip-prinsip keterwakilan guna memenuhi aspirasi warga masyarakat sebagai konstituen partai politik, serta merupakan perwujudan dari sebuah sistem demokrasi yang sesungguhnya?

Perlunya pertanyaan di atas diajukan mengingat respon masyarakat terhadap kinerja wakilnya di parlemen berdasarkan keterwakilan melalui partai politik (parpol), bisa berbeda-beda.

Di ruang-ruang publik kita khususnya di media sosial dipenuhi pertengkaran yang menjurus kepada segregasi sosial dalam menyikapi berbagai kebijakan eksekutif yang kontroversial, termasuk kinerja legislatif yang dianggap mengecewakan.

Rekam jejak lembaga legislatif di parlemen selama beberapa tahun terakhir memang disinyalir tidak memuaskan. Publik tidak akan lupa bagaimana sikap mengecewakan lembaga legislatif ketika revisi UU KPK (2019), UU Ciptaker (2020), UU Minerba (2020) dan terakhir kenaikan harga BBM pada 2022 disahkan tanpa mempertimbangkan semua masukan dan protes masyarakat.

Meskipun, rencana revisi UU KPK, UU Ciptaker/Omnibuslaw, UU Minerba, dan kenaikan harga BBM telah ditolak oleh aksi unjuk rasa besar-besaran ratusan ribu mahasiswa di 40 kota Indonesia.

Karenanya wajar jika kemudian muncul pertanyaan terkait kinerja parlemen yang terkesan lebih menjadi “cap stempel” dari kebijakan-kebijakan yang ditelurkan eksekutif. Publik juga mencatat, bahkan ketika terjadi pandemi covid 19 dengan diterbitkannya Perppu No 2 tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) / Perppu Corona, parlemen tidak mempertanyakan dengan kritis mengapa anggaran covid 19 dari semula Rp 651,1 triliun lalu tiba-tiba naik menjadi Rp1.530,8 triliun, sebagaimana dikritisi oleh rektor Paramadina Prof Dr Didik J Rachbini. [1]

Dari beberapa contoh kasus di atas, terasa bahwa sistem politik yang dijalankan tidaklah memenuhi pakem seharusnya dari demokrasi partisipatoris atau demokrasi kerakyatan seperti disitir oleh AE Priyono (Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo dalam “Menakar Ulang “Demos”  Sebuah Basis yang Ruai” dalam buku “Menolak Matinya Intelektualisme – Jejak Perjalanan dan Pemikiran AE Priyono”: 2020) hal mana seharusnya parlemen lebih berpihak pada kepentingan konstituen dalam hal ini rakyat yang telah memiihnya dalam pemilu.