SALAH satu isu politik aktual yang terus diproduksi dan reproduksi (daur ulang) lembaga survei adalah tentang partai politik (parpol) yang diramalkan bakal masuk pada zona degradasi alias tidak lolos ambang batas parliamentary threshold (PT) 4 persen. Diantara yang bakal terdegradasi tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bukan hanya satu lembaga survei, melainkan empat lembaga survei yang memprediksi kemungkinan tersebut. Yakni: Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, dan Litbang Kompas. Bahkan televisi yang tergabung dalam Media Nusantara Citra (MNC) Grup dalam running textnya setiap saat merilis hasil survei PPP tidak lolos PT 4%. Posisinya disalip Partai Persatuan Indonesia (Perindo) yang diprediksi bakal membetot 5 % suara dari total suara pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2024.
Berbeda dengan nasib PPP yang diramalkan bakal terpuruk dan bahkan ada yang memprediksi hanya meraih sekitar 2 % dari total suara yang bakal diperebutkan di Pileg 2024. Sebaliknya Parpol parlemen lain justeru disimpulkan bakal tetap bercokol di parlemen. Parpol tersebut adalah PDI Perjuangan, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasional Nasdem, Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Proses penelitian hingga menghasilkan kesimpulan yang dianggap merugikan citra PPP yang dilakukan SMRC dan kawan-kawannya tersebut dilakukan sekitar 2022 hingga awal 2023
Dalam catatan, sejak 2004, proyek stigmatisasi negatif terhadap PPP sebagai partai gurem dan diprediksi tidak lolos PT, sudah terjadi. Tetapi realitasnya hingga kini partai besutan fusi partai Islam lawas tersebut, masih tetap eksis dan bertahan di Senayan. Begitupun survei yang dilakukan jelang Pemilu Serentak 2024, tidak boleh dianggap remeh temeh, atau sepele. Sebab, riset tersebut berbasis metodologi ilmiah yang telah diakui dalam dunia akademik secara universal. Terlebih riset tersebut dilakukan oleh banyak lembaga riset. Mungkin saja hasil riset salah atau keliru. Tetapi agak gegabah manakala lembaga survei tersebut dituding memiliki motivasi yang secara sistematis dan terencana untuk melakukan kebohongan berjubah ilmiah hanya untuk menjatuhkan kredibilitas PPP.
Aspek lain yang membuat hasil riset tersebut menjadi krusial bagi PPP, karena situasi dan kondisi politik saat ini begitu tifikal. Sangat dipengaruhi oleh kontestasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang diperkirakan akan kompetitif. Banyak partai berburu efek ekor jas (coattail effect) dari kontestasi Pilpres. Karena tepat atau salah pilihan dukungan dan afiliasi poltik suatu partai, bakal menentukan nasib elektabilitas partai. Itulah sebabnya, tidak salah manakala dikatakan pilihan afiliasi politik PPP dalam pencapres akan berdampak terhadap elektabilitas PPP di Pemilu Serentak 2024. Ini yang mestinya harus disadari oleh elit PPP. Jangan sampai karena ingin mempertahankan kepentingan segelintir elit PPP, maka partai menjadi korban atau dikorbankan.
Sebab Musabab
By the way, mengapa sejumlah lembaga survei meramalkan PPP bakal tergelincir ke jurang degradasi pada Pemilu Serentak 2024? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus memahami metode penelitian survei. Pada umumnya pengumpulan data proses riset dilakukan pada kurun tertentu dengan menggunakan metode multistage random sampling serta melibatkan sekian ratus atau ribu responden, dengan cara wawancara tatap muka, kuesioner atau handpone. Dengan margin of error penelitian antara 2-3 persen. Makin kecil margin error, validitas hasil penelitian makin akurat.
Masalahnya tidak terjelaskan apakah dari sekian sampel yang diambil data atau persepsinya berasal dari pengurus atau konstituen PPP. Selain itu, rentang waktu penelitian dengan hari H pemungutan suara, mengharuskan kita memahami hasil riset secara dinamis. Bukan statis atau stagnan. Itulah sebabnya, prediksi PPP terperosok ke jurang degradasi pada Pileg 2024, merupakan suatu kesimpulan tentatif. Artinya bisa terjadi atau tidak terjadi. Bisa tetap dan bisa juga berubah,
Salah satu faktor yang mempengaruhi kesimpulan riset, mungkin karena Pileg 2014 digelar bersamaan dengan Pilpres 2014. Kala itu suara PPP pada Pemilu mampu menembus 8.152.957 atau 6,53 persen. Dengan tambahan suara tersebut, kursi DPR yang diraih bertambah satu dibanding pemilu sebelumnya, menjadi 39 kursi. Sementara pada Pileg 2019, PPP terjun bebas menjadi 6.323.147 atau 4,52 persen. Dengan jumlah suara tersebut, PPP hanya mampu menempatkan 19 kadernya menjadi anggota DPR RI. Hingga PPP menjadi partai paling sedikit anggotanya di parlemen dibanding delapan partai lainnya. Trend penurunan suara/kursi yang demikian drastis tersebut bisa jadi mempengaruhi persepsi atau opini responden ketika menjawab pertanyaan tentang elektabilitas PPP.
Faktor lainnya dikontribusi karena maraknya pemberitaan seputar konflik internal. Sebaliknya hal-hal positif mengenai PPP, menjadi tenggelam. Adalah benar PPP merupakan partai yang tidak perrnah sunyi dari konflik sejak kehadirannya di pentas politik nasional. Pada 2014 misalnya, PPP didera konflik internal pada masa kepemimpinan Ketua Umum Suryadharma Ali (SDA) karena perbedaan dukungan dari para elite partai terhadap calon presiden di masa itu.
Lalu SDA mundur dari Ketua Umum PPP karena tersangkut kasus korupsi. Selanjutnya, pada 2015-2017, konflik internal PPP bertambah parah dengan terjadinya dualisme kepemimpinan antara Djan Farids dan Romahurmuziy. Potret PPP tambah kusam saat Romahurmuziy juga mengalami nasib sial dengan tersangkut kasus korupsi. Sehingga pada Pemilu 2019 perolehan kursi PPP makin mengecil dan nyaris tidak lolos PT.
Untuk menyelamatkan PPP, tampuk pimpinan PPP beralih ke tangan Suharso Monoarfa (Sumo) sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai PPP berdasarkan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Hotel Seruni, Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/3/2019). Lalu pada Muktamar IX PPP 2020 mengukuhkannya sebagai Ketua Umum Periode 2020-2025 dan Ketua Tim Formatur. Tetapi di masa kepemimpinan Sumo, PPP juga tidak sunyi dari konflik. Sialnya lagi, Sumo terkena kasus keselo/terkilir lidah (slip of tonge) saat berpidato di acara yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyinggung ada tradisi ‘amplop untuk kiai’.
Meskipun Sumo yang juga Menteri PPN/Kepala Bappenas telah meminta maaf dan memberikan klarifikasi pada kiai dan para pihak yang tersinggung, gelombang protes yang menuntut pengunduran dirinya terus menggema hingga ke pelbagai daerah. Suharso akhirnya diberhentikan sebagai Ketua Umum oleh Majelis Tinggi DPP. Hingga akhirnya, melalui Rapat Pengurus Harian DPP PPP, menunjuk Muhammad Mardiono sebagai Plt Ketua Umum PPP menggantikan Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum PPP Masa Bakti 2020-2025.
Sejumlah manuver politik yang dilakukan oleh Sumo dengan membangun Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama Golkar dan PAN menjelang Pilpres 2024 pada Kamis (12/5/2022) dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Golkar Airlanggga di satu sisi dan disi sisi lain respon Mardiono terkait isu yang sama menimbulkan pro dan kontra. Sementara konsolidasi struktural, wawasan, fungsional serta program partai hampir di semua hirarki kepengurusan berlangsung terseok-seok. Opini dan persepsi buruk inilah yang kemudian terjaring oleh lembaga survei. Sehingga menghasilkan simpulan: PPP berada di pusaran partai yang berpotensi masuk zone degradasi pada Pileg 2024.
Kepemimpinan dan Manajemen
Manakala yang diinginkan adalah membalikkan kesimpulan hasil riset SMRC dan kawan-kawannya dari kenyataan buruk beralih kepada kenyataan indah di Pileg 2024, jajaran kepengurusan elit PPP harus memiliki kekuatan pada visi dan konsepsi, narasi besar serta mampu diturunkan dengan aksi-aksi konkrit. Untuk itu, PPP memerlukan pembenahan pada model atau pola kepemimpinan partai yang mampu mengintegrasikan potensi penngurusnya dan pendukungnya, melalui manajemen partai yang profesional, transparan dan akuntabel. Serta konsolidasi kepengurusan partai dari mulai tingkat pusat, cabang bahkan hingga ranting.
Jangan sampai mesin partai partai, terutama jelang Pemilu mengalami gangguan dan kerusakan, apalagi mengalami disfungsional. Sementara yang lebih berfungsi atau bekerja hanyalah para calon legislatif (caleg), apakah itu di DPR maupun DPRD. Tapi mengenai terjadinya rivalitas internal caleg bukan hanya karena kemauan caleg itu sendiri. Digunakannnya sistem proporsional terbuka dimana penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak, ikut andil dalam melahirkan kondisi ini. Akumulasi berbagai faktor tersebut dan banyak lagi faktor lainnya, menyebabkan perolehan suara/kursi PPP pada Pileg 2019 mengalami kemerosotan tajam. Ke depannya harus dilakukan kombinasi, kolaborasi dan sinerjitas antara fungsi struktural dan mesin partai serta mesin caleg.
Sebagai partai historis dan berpengalaman, bisa dikatakan PPP sudah teruji dan terbukti dalam mengaktualisasikan fungsi partai sebagai pengatur dan pengendali konflik. Jika tidak, PPP secara organisasi sudah terpecah belah. Tetapi untuk menjawab tantangan dan kebutuhan kepartaian dan bangsa di masa depan, ada ekspektasi besar dari pendukung dan simpatisannya agar partai ini mampu menstranformasi konflik menjadi faktor dinamika internal (inner dynamic). Bahkan kini umat makin merindukan PPP untuk berfungsi secara otentik dan efektif sebagai alat dan saluran aspirasi umat terdepan yang konsisten (istiqomah) dalam menegakkan amar ma’ruh nahi munkar dalam segala aspek.
Harus dipahami dan disadari, basis kekuatan utama PPP sesungguhnya masih berasal dari tokoh senior, ulama maupun konstituen loyal yang memiliki ikatan historis dan ideologis dengan fusi partai politik Islam pada 5 Januari 1973. Meminjam kerangka teori Edwars Aspinal tentang agensi, pendukung lawas PPP tersebut, masih dapat diandalkan sebagai vote getter andal guna mengembalikan citra partai atau meraup suara di Pemilu tanpa harus terlalu dimobilisasi dan diiming-imingi dengan pendekatan pragmatis. Dan ini berbeda dengan karakteristik pendukung PPP dari kalangan generasi baru dan terutama dari kalangan milenial yang tidak memiliki ikatan ideologis. Kalangan ini acapkali memiliki gejala sensate democracy (demokrasi sensasional). Dimana partisipasi politiknya terkadang fluktuatif, spekulatif, dan kondisional. Karenanya konstituen lawas partai harus dirangkul, dipelihara dan dirawat dengan baik.
Sementara itu, gebrakanPPP merekrut kalangan profesional di luar kader murni merupakan langkah cerdas, tepat dan menjadi suatu keniscayaan. Sebab bagaimanapun mereka memiliki modal intelektual, sosial, jaringan, kapital, dan sebagainya. Dengan segala modal tersebut mereka mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan berbagai potensi peraturan perundangan Pemilu maupun konstelasi serta kontestasi politik saat ini untuk kepentingan penguatan strategi kampanye dan pemenangan Pemilu. Meskipun demikian, keberadaan mereka di partai berpotensi mubazir, manakala tidak dimanfaatkan dan didayagunakan secara konkrit, efektif, dan maksimal.
Rebranding Partai
Hal lain yang tidak kalah penting diinsyafi, jajaran elit PPP harus memahami bahwa saat ini berada di era perang opini berbasis digital (cyber war atau virtual war). Dengan menggunakan teori hypodermic needle (teori jarum suntik), bullet theory (teori peluru) teori framing (pembingkaian) yang secara umum bermakna bahwa informasi diluncurkan melalui media massa mempunyai efek sangat kuat terhadap khalayak, hasil survei SMRC dan kawan-kawannya juga bisa mempengaruhi persepsi dan opini publik sehingga seolah-olah menjadi realitas dan benar. Agar teori hypodermic needle, bullet theory, atau teori framing tidak berdampak negative terhadap PPP, partai berlambang Ka’bah ini perlu melakukan rebranding partai dengan memanfaatkan teknologi digital, terutama multi media dan media sosial. Terlebih pada Pemilu Serentak 2024, 50-60 persen didominasi pemilih milenial dari total pemilih.
Tanpa mengabaikan atau dikombinasikan dengan metode sosialisasi atau kampanye secara konvensional/tatap muka. Seperti melalui pembuatan dan penyebaran Alat Peraga Kampanye, kunjungan ke tokoh-tokoh senior partai, ulama, pesantren, dan sebagainya. Sebab sosialisasi dengan secara tatap muka mempunyai makna dan dampak psiko politik serta magnitude tersendiri yang bisa langsung dapat terilihat secara kasat mata. Itu semua hanya bisa dilakukan manakala PPP mempunyai kemampuan dalam manajemen kampanye dan sekaligus manajemen informasi atau media yang mumpuni.
Singkat kata, dengan memahami sedikit metode penelitian lembaga survei serta faktor-faktor yang mengitari PPP, baik secara internal maupun eksternal, maka para aktivis khususnya elit PPP, tidak perlu kebakaran jenggot. Apalagi bersikap emosional atau irrasional merespon hasil survei tersebut dan apalagi menuding secara membabi buta bahwa telah terjadi proyek yang secara sistematis menggusur PPP melakukan gerakan politik berbasis ilmiah dari parlemenn. Sebab, bila hanya sekadar berhenti menuding seperti itu tidak akan menjawab masalah secara substnsial dan fundamental yang dihadapi oleh PPP saat ini.
Sebaliknya akan lebih cerdas, rasional dan bijak, manakala kesimpulan hasil riset tersebut dijadikan dijadikan pelajaran dan peringatan (alarm) sekaligus starting point bagi elit dan seluruh jajaran kepengurusan partai pada semua hirarki, terutama di tingkat pusat untuk menyatukan visi, memperbarui tekad dan komitmen serta memperbaiki kinerja PPP secara menyeluruh, baik secara struktural, jaringan dan kualitas personal caleg yang maju di Pileg 2024. Dan itu semua harus dilakukan dengan gercep (gerak cepat), namun terukur dan efektif hasilnya. Sebab, ibarat perang, musuh sudah di depan mata. Pileg atau Pilpres 2024 tinggal kurang lebih dari satu tahun.