Scroll untuk baca artikel
Kolom

Ketika Partai Tanpa Ideologi, Bagaimana Jadinya?

Redaksi
×

Ketika Partai Tanpa Ideologi, Bagaimana Jadinya?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Khairul Fahmi,
(Penggiat Literasi dari Jakarta)

PARTAI politik di Indonesia mulai ada sejak awal abad ke 20, saat Indonesia masih belum merdeka, atau masih di bawah penjajahan Belanda. Partai-partai tersebut adalah buah dari politik etis pemerintah Hindia Belanda. Karena politik etis selain menghasilkan kaum profesional untuk kepentingan Belanda sendiri, politik etis juga melahirkan kalangan intelektual yang sadar akan nasib bangsanya. Mereka berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Di antara alat perjuangannya adalah partai politik.

Saat itu tercatat ada beberapa partai politik dengan berbagai aliran ideologi: Indische Partij, ISDV, PKI, PNI, ISDP, Gerindo, PRI, dan Syarikat Islam (SI).

Setelah Indonesia merdeka jumlah partai politik bertambah banyak. Pada pemilu 1955 tercatat ada 36 partai politik. Ideologinya juga berbeda : Islam, nasionalisme, komunisme, sosialisme, dan Kristenisme. Partai-partai tersebut ada yang bertahan sampai bubarnya Orde Lama.

Setelah Orde Baru semua partai di atas dilebur (fusi). Partai-partai berideologi Islam dilebur dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai berideologi nasionalisme dan Kristenisme dilebur dalam Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Sementara yang berideologi sosialisme dan komunisme sudah dibubarkan.

Ketiga partai ini berideologi atau berasaskan Pancasila (Asas Tunggal). Tujuannya satu yaitu developmentalisme (pembangunan).

Bila dilakukan perbandingan suasana kehidupan politik saat partai memilik ideologi yang berbeda dan khas, kita akan menemukan bahwa era ideologi memunculkan gagasan-gagasan yang briliant menyangkut cetak biru (blue print) kehidupan sosial politik Indonesia. Pada masanya para politisi yang duduk di lembaga legislatif (konstituante) berdebat panjang secara cerdas dan berisi tentang negara dan bangsa berdasarkan latar belakang ideologinya masing-masing.

Perdebatan cerdas itu memang begitu melelahkan. Sejak pemilu dan konstituante tahun 1955 sampai tahun 1959, konstituante belum juga merampungkan tugasnya. Sampai akhirnya Soekarno yang sudah tidak sabaran, karena saat itu juga menerapkan Demokrasi Terpimpin, menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Perdebatan ideologi dihentikan, negara kembali kepada UUD 1945.

Para anggota Konstituante berdebat panjang seputar cetak biru negara dan dasar negara saat itu karena itu tugas mereka untuk merampungkan dasar-dasar kehidupan bernegara yang pembahasannya dianggap belum tuntas menjelang kemerdekaan tahun 1945.

Bandingkan dengan era Orde Baru, saat ideologi diharamkan. Nyaris tidak ada pemikiran brilian tentang negara dan bangsa. Partai-partai politik hanya menjadi tukang stempel Penguasa Orde Baru.

Bagaimana dengan partai-partai era reformasi ? Di era ini partai politik tumbuh subur bak cawan di musim hujan. Setiap lima tahun sekali ada partai politik baru yang ikut pemilu karena lolos verifikasi dan ada saja yang hilang karena tidak lolos Parliement Treshold (PT). Yang lolos PT sebanyak 10 partai. Secara umum kesepuluh partai ini hanya dibagi dalam dua kategori basis pemilihnya, yaitu partai nasionalis dan partai agamis. Semua partai ini semuanya partai nasionalis, karena semuanya berasaskan pancasila.

Suasana kehidupan politik era Orde Baru dan Orde Reformasi berbeda, walawpun di dua era ini tidak ada partai yang berbasis ideologi. Letak perbedaannya pada sistem politik dan sistem pemilu. Di era Orde Baru, sistem politik menerapkan demokrasi perwakiilan. Sistem pemilihan menggunakan sistem proporsional tertutup. Dengan sistem ini selama pemilu Orde Baru tidak ada praktek money politics