DISKURSUS memaknai demokrasi sering dimaknai sebagai kebebasan untuk mengemukakan pendapat di depan publik, namun demokrasi bukan hanya sebatas manusia memiliki gagasan yang ada dalam benak dirinya untuk dikeluarkan dalam bentuk argumen, sikap semacam ini adalah normatif yang terjadi dalam realitas kehidupan kita.
Demokrasi bukan hanya tersatu pola pada pertarungan narasi, lebih dari sekadar itu makna demokrasi menjamin keutuhan hidup individu dalam meyakinkan diri pada satu kepercayaan yang tertanam di dalam dirinya, sehingga pembatasan agama sering dianggap sebagai hal yang ihwal kaitannya dengan demokrasi itu sendiri.
Karena itu pula gagasan tersebut sering terdengar tidak asing di khalayak publik liberalis hendak tidak membatasi dalam menyakini suatu keyakinan keagamaan tertentu termasuk tidak meyakini adanya wujud Tuhan. Jika demokrasi dimaknai sebagai sebuah kebebasan untuk berekpresi dan mengeluarkan pendapat, mestinya setiap warga hendak bebas menentukan keyakinannya sesuai apa yang dianggap mereka yakini.
Namun, bisa kita bayangkan dan rasakan betapa kacaunya jika sebuah negara seandainnya tidak memiliki rambu-rambu yang hendak bisa dijadikan sebagai aturan main setiap warga negaranya dalam mengekpresikan keyakinan keagamaanya sesuai yang dianutnya.
Dalam pengertiannya yang murni, kebebasan beragama (religious liberty atau religious freedom) memiliki empat aspek utama; kebebasan nurani ( liberty of consience), kebebasan mengekpresikan keyakinan beragama ( liberty of religious expression),kebebasan melakukan perkumpulan keagamaan ( liberty of religious association), serta kebebasan melembagakan ajaran keagamaan ( liberty of religious institutionalization).
Di antara keempat aspek tersebut , aspek pertama yakni kebebasan nuranimerupakan hak yang mutlak dalam diri setiap individunya dan tidak bisa terpisah melampaui ketiga aspek yang lainnya. Karena kebebasan nurani merupakan yang paling absolut, maka kebebasan beragama harus mencakup kebebasan memilh dan tidak memilih agamanya dan hal ini tidak bisa dibantah oleh manusia manapun.
Dengan batasan di atas, maka maka kebenaran individu harus dianggap sebagai nilai yang paling luhur dan agung ( supreme value ). Ia akan menghendaki sebuah komitmen serta pertanggung jawabam pribadi yang mendalam. Komitmen dan pertanggung jawabanharus berada di atas agen-agen otoritatif lainnya seperti masyarakat, mapun pemerintah sekalipun.
Berkenaan dengan hal itu, maka kita tidak sedang berada dalam zaman sekular seperti dikira banyak intelektual barat. Sampai pada tahun 70 san 80-an sekularisasi melanda di negara-negara eropa, seperti Belanda dan negara-negara Skandinavia, dan bersamaan dengan modernisasi sedikit banyak juga di Asia.
Konstitusi-konstitusi negara hukum modern pada dasarnya dibangun di atas dasar sekularisme politis, suatu basis politis yanng diduga akan menjadi motor untuk sekularisasi sosio-kultural. Banyak intelektual waktu itu merumuskan keyakinan mereka dalam pemahaman sekularisasi, suatu keyakinan bahwa agama secara bertahap dan progresif akan pudar oleh moderninasi dan rasionalisasi masyarakat.
Dewasa ini pemahaman tersebut tentunya terkesan sangat rancu dan terbukti gagal. Yang terjadi bukan kematian, melainkan kebangkitan agama-agama. Dari seluruh populasi dunia, ada 32% pemeluk kekristenan, 21% Islam, 15% Hindunisme, 5,5% agama-agama suku, 5,5% konfusianisme, 5,5% Buddishme, 0,35% Sikhisme, 0,25%Yudaisme, 2,4% keyakinan lainnya, dan hanya 15% tidak beragama.
Di benua Eropa yang kerap dituduh “ateistis” itu cuma 5% yang terus terang mengakui ateis. Apa kita berada pada zaman relevantisme agama? Jauh juga dari itu, kerena seperti dilihat Jose Casanova, berlangsung juga ‘denominasionalisme global’ dalam agama-agama. Jadi kita tidak berada pada zaman sekular, melainkan zaman hiperkompleks.
Di dalam hiperkompleks ini para petarungan doktrin memperebutkan pengaruh jejaring. Para prajurit imanpun tampil ke arena politis siap meledakan tubuhnya dengan teror lebih dahsyat dari pada berjibaku dengan tentara Jepang di masa lampau. Literatur Barat berbicara tentang ekspansi pasar-pasar kekerasan yang memperjualbelikan ‘perang-perang kecil global’.
Dewasa ini agama seolah menjebol pagar-pagar wilayah privat yang pernah ditetapkan dalam perjanjian Westphalia, dan iman memiliki prospek untuk kembali menjadi kategori politis yang penting. Entah dengan mengabaikan atau bersemangat, dalam penanganan terorisme islam dan pengungsi Timur Tengah politik kontemporer nau tak mau harus mengkarkulasikan iman sebagai faktor indentitas yang menentukan untuk mengakses seseorang dalam komunikasi.
Kompleksitas bertambah manakala iman itu, sebagai suatu Weltanshauung, dibenturkan dengan nilai-nilai sekular modern, seperti Ham, yang darinya tumbuh bukan hanya ideologi pasar (kapitalisme), ideologi sains (natualisme), ideologi politis (liberlisme), melainkan juga ideologi kelamin (LGBTIQ). Hiperkompleksitas menghasilkan perpleksitas yang kemudian dicoba distabilisasi dengan mantara populer bernama relativisme.
Dalam masyarakat kita agama-agama tidak pernah pudar, maka orang tak bicara tentang kebangkitan mereka, seolah dikubur. Problem kita bukan sekularisme, melinkan radikalisme agama. Menyusul peristiwa 9/11, ada seri bom bunuh diri Bali, Jakarta, Solo dan yang lainnya. Di samping terorisme , radikalisme menghasilkan prestasi negatif dalam bentuk pembakaran geraja, penganiayaan warga Ahmaddiyah dan Shiah, dan seterusnya lagi.
Belum lagi hendak munculnya berbagai fenomena keyakinan baru, seperti kelompok Lia Eden, kelompok Gatafar, dan yang lainnya. Bagimana hal ini bisa menjamin setiap orangnnya untuk bebas beragama dalam situasi yang kompleks ini?. Dari segi etika politik sekurangnya dua pertanyaan berikut membutuhkan jawaban yang sangat mendalam. Pertama, pada ranah kemasyarakatan, bagiamana kebabasan beragama dan plurarisme dihormati tanpa jatuh ke dalam relativisme?.
Kedua , pada ranah kenegaraan, bagimana negara hukum modern bersikap terhadap berbagai orientasi nilai di dalam masyarakat? Kita tahu jawaban yang diberikan akan bersifat normatif karena diberikan oleh sebuah etika politis. Namun, kita tetap perlu menghitung kondisi faktual agar jawaban tetap realistis.
Dalam masyarakat kompleks seperti Indonesia sekurangnya dua ranah dapat dibedakan: ranah kemasyarakatan atau masyarakat warga yang hendak kita sebut sebaagai (civil society ), yakni hubungan horizontal di antara kelompok-kelompok agama, dan ranah kenegaraan, yakni hubungan vertikal antara masyarakat warga dan ranah kenegaraan, yakni hubungan vertikal antara warga masyarakat dan negara.
Etika politik memberikan prinsip-prinsip untuk kedua rumah tersebut. Untuk hubungan horizontal itu perlu diperhatikan sekurang-kurangnya empat pokok pikiran. Di antaranya sebagai berikut:
Pertama, kebebasan beragama dalam masyarakat kompleks tidak bisa dijamin, jika keunikan tiap-tiap agama diabakan dengan sebuah pandangan dewasa ini yang sedang merajela, yaitu bagimana kaitanya dengan arti relativisme. Menurut pemahaman ini kebenaran itu hanya bersifat relatif, tergantung agama masing-masing.
Maka bisa ditarik sebuah garis pemahamannya yang sangat sederhana bahwa semua agama sama benarnya. Yang di mana hari-hari ini sering kita maknai sebagai sebuah kekeliruan bahwa relativisme sebagai toleransi.
Pandangan ini justru sangat bertentangan dengan toleransi dan kemajemukan agama yang mengandalkan klaim kebenaran yang unik tiap agama yang membedakan agama satu dari yang lain. Relativisme bisa jatuh ke dalam absolutisme dengan mendesak agama-agama lainnya untuk medesak klaim-klaim kebenaran mereka yang memang berbeda-beda, sehingga relativisme tidak pluralis.
Tolarnsi tidak bisa dibangun dengan mengabaikan atau eleminasi perbedaan, melainkan justru dengan menerimanya. Prinsip etis hubungan antar agama di sini adalah saling respek kepada yang lain dalam keberlainanya. Masyarakat kita berciri multikultural dan telah terbiasa dengan pluralitas agama, misalnya dengan banyaknya pasangan campur agama, pemukiman heterogen, dan berbagai bentuk sinskeretisme kultural.
Kedua, kebebasan beragama dalam masyarakat tidak dijamin jika para agamawan bersifat triumfalis dan ekslusivitas dalam iman mereka. Dalam ekslusivitas keselamatan, iman agama sendirilah yang dinilai benar, dan hanya orang-orang dari kelompok sendirilah yang selamat, sedangkan orang-orang dari agama lain tidak selamat.
Memang pandangan tersebut tidak selalu memotivasi kekerasan, tetapi sangat kerap kekerasan atas nama Tuhan dilegistiminasikan oleh pandangan ini. Jika orang yang memiliki keyakinan lain itu dianggap sesat dan berbahaya, tidak ada cara lain selain menyingkirkan mereka demi iman yang benar. Perang-perang kecil global yang dilancarkan jejaring teroris Al-Qaeda dan ISIS, misalnya sangat tergantung secara ideologis pada ekslusivisme keselamatan.
Di Indonesia peristiwa Cikeusik, Sampang atau Tolikara tidak terjadi tanpa justifikasi soteriologi tersebut, entah secara emplisit maupun eksplisit. Jika kebebasan beragama hendak dijamin diperlukan kesediaan agamawan untuk terbuka kepada yang lain. Diperlukan iman inklusif, yakni iman yang terbuka terhadap kepercayaan lain tanpa menjadi relativistis.
Ketiga, kebebsan beragama dalam masyarakat kompleks terncam oleh dua macam jebakan pikiran yaitu; intelektualisme dan fideisme. Yang satu meremehkan iman sebagai irasional dan infantil, sementara yang lain mencurigai nalar sebagai racun bagi iman. Prinsip etis di sini adalah kerendahan hatian sebagai mahkluk hidup yang belum selesai mencari kebenaran.
Agamawan perlu memiliki suatu keinsyafan mendasar akan paradoks anatara kebenaran final wahyu di suatu pihak dan ketakselesaian akal manusia untuk memahaminya. Bahaya intelektualitas belum menggejala dalam masyarakat kita. Yang sering kita hadapi di Indonesia adalah bahaya fideisme, mungkin karena thoughtlessness dikira menimbulkan iman yang benar dan kepastian psikis.
Para fideis berpandangan bahwa tidak ada kebenaran lain selain kebenaran iman, dan untuk mengetahuinya orang cukup beriman saja, yakni tanpa akal, karena akal dianggap meracuni iman. Fideisme menggangu iklim kebebasan beraganma karena anti dialog ( untuk apa berdialog jika kebenaran diyakini sudah ditemukan dalam doktrin imannya). Banyak fideisme hanya punya dua kategori yakni surga dan neraka, sedang kategori ketiga diabakan begitu saja. Padalah pada kenyataannya di dunia ini dunia ini hidup bersamaan.
Keempat, kebebasan beragama tidak sama dengan ‘pasar bebasa penyiar agama’. Oarang berhak untuk tidsk diganggu rasa nyamannya dalam beriman. Yang dipersoalkan di sini bukan isi kebenaran yang diwartakan, melainkan sikap (yang sering manifulatif,koersif, dan agresif) terhadap pendengarnnya. Salah satu sumber teologis praktik siar agama yang koersif dan manifulatif adalah eksklusivisme agama yang berfungsi seperti ideologi partai merekrut anggota baru.
Apa yang bagi kelompok diimani sebagai pneyelematan jiwa-jiwa dapat dirasakan oleh kelompok target sebagai ancaman integritas kelompok. Prinsip etis di sini adalah kebebasan suara hati untuk menerima atau menolak ajaran yang disiarkan. Misi atau dakwah harus dilakukan dengan menghormati kebebasan suara hati.
Cara yang terbaik adalah lewat keteladanan dan kesaksian hidup, sementaran propaganda iman, entah itu Kristenisasi atau Islamisasi, akan menempatkan orang lain hanya sebagai objek. Kebebasan beragama dalam masyarakat majemuk akan diajamin bila praktik-praktik siar agama yang tidak etis juga ditinggalkan demi hormat kepada martabat manusia yang memiliki kebebasan suara hati untuk memilih keyakinannya sendiri.