Revisi UU TNI bukan sekadar aturan baru, tapi ancaman nyata bagi profesionalisme militer dan kebebasan sipil.
REVISI Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna pada 20 Maret 2025.
Keputusan ini menuai gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, mahasiswa, dan pegiat masyarakat sipil.
Mereka menilai bahwa revisi ini tidak hanya melemahkan prinsip demokrasi, tetapi juga menghidupkan kembali dwifungsi TNI, sebuah konsep yang seharusnya telah ditinggalkan sejak reformasi 1998.
Salah satu poin kontroversial dalam revisi UU TNI ini adalah perluasan peran prajurit aktif dalam jabatan sipil. Sebelumnya, hanya 10 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel militer aktif, tetapi kini jumlahnya bertambah menjadi 14.
Dengan bertambahnya jumlah jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota TNI, ada kekhawatiran bahwa supremasi sipil dalam pemerintahan akan tergerus, serta profesionalisme militer akan menurun.
Banyak pihak berpendapat bahwa revisi ini tidak hanya mengancam sistem pemerintahan sipil, tetapi juga merusak profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) dan militer itu sendiri.
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad, menyoroti bahwa revisi ini dapat menurunkan semangat kerja ASN, karena peluang mereka untuk menduduki jabatan tinggi semakin kecil akibat masuknya perwira militer aktif.
ASN yang seharusnya mendapatkan posisi berdasarkan kompetensi dan pengalaman kerja dapat tergeser oleh perwira TNI yang belum tentu memiliki latar belakang yang relevan dengan tugas-tugas sipil.
Di sisi lain, penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil juga dapat merusak profesionalisme militer. Fungsi utama TNI adalah menjaga pertahanan negara, bukan mengelola urusan pemerintahan sipil.
Dengan memberikan mereka tugas di ranah sipil, ada risiko bahwa fokus utama mereka dalam bidang pertahanan akan terabaikan.
Proses Pembahasan yang Tidak Transparan
Salah satu kritik utama terhadap revisi UU TNI ini adalah proses penyusunannya yang tidak transparan dan tergesa-gesa. Karlina Supelli, seorang filsuf dan Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, menyoroti adanya kekeliruan logika dalam penyusunan undang-undang ini.
Menurutnya, revisi ini justru dilakukan setelah adanya penempatan prajurit TNI aktif di kementerian/lembaga atas kebijakan presiden.
Hal ini menunjukkan bahwa revisi tersebut dibuat untuk melegitimasi keputusan yang telah berjalan, bukan berdasarkan kajian mendalam mengenai kebutuhan dan dampaknya terhadap sistem pemerintahan.
Ketidakterbukaan dalam pembahasan revisi UU ini semakin menambah kecurigaan bahwa keputusan ini lebih bermuatan politis daripada demi kepentingan bangsa.