Oleh: Tatak Ujiyati
Barisan.co – Ada bermacam reaksi penguasa menghadapi demonstrasi. Ada yang pilih bertindak represif, ada yang pilih mengabaikan, ada yang terpaksa mengalah, ada juga yang pilih memberi solusi alternatif. Di Jakarta, pada saat demo buruh Oktober tahun lalu, Anies Baswedan memilih jalan keempat : memberi solusi alternatif.
Ceritanya begini. Pada waktu itu buruh Jakarta melakukan demonstrasi, memprotes UMR Jakarta yang dianggap terlalu rendah. Para buruh ingin agar UMR Jakarta dinaikkan ke Rp4,6 juta dari ketetapan yang Rp4,2 juta.
Perwakilan pendemo kemudian diterima Anies Baswedan di Pendopo Gubernuran. Mereka melakukan pembicaraan yang lama dan intens, membahas tuntutan buruh. Para buruh ingin agar UMR dinaikkan karena dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup minimal di Jakarta.
Anies Baswedan menawarkan solusi, bukan dengan menaikkan UMR tapi dengan menurunkan biaya hidup mereka. Caranya, Pemprov DKI memberikan subsidi melalui Kartu Pekerja. Yang bisa dipakai untuk membeli kebutuhan pangan murah, naik transportasi umum gratis, dan beasiswa untuk anak buruh melalui Kartu Jakarta Pintar Plus.
Sebuah solusi cerdas. Buruh menemukan jalan keluar atas kesulitannya. Pengusaha merasa tenang karena tak harus terbebani menaikkan ongkos produksi. Beban dialihkan ke pemerintah, dalam bentuk subsidi yang ditanggung Pemprov DKI Jakarta. Persoalan selesai, demo buruhpun berhenti.
Anies Baswedan adalah aktivis pada jamannya. Ketika mahasiswa, ia dikenal sebagai salah satu penggerak dari demo-demo melawan tirani Orde Baru. Maka ia paham, bahwa aspirasi melalui demonstrasi haruslah diselesaikan sampai pada akar masalahnya.
Bukankah pejabat pemerintah harusnya justru bersyukur ada warga yang mau bersikap kritis dan rela repot-repot menyampaikan aspirasi? Demi kebijakan negara yang lebih adil, suara sekecil apapun perlu didengar. Itu cara berpikir pejabat yang nggak punya kepentingan pribadi ya.
Di mana-mana tempat, demonstrasi adalah hal biasa. Jika aspirasi tersumbat melalui cara-cara formal, turun ke jalan menjadi senjata terakhir. Demi menekan pemerintah mengubah kebijakan yang dianggap merugikan. Demonstrasi adalah wujud kebebasan berpendapat yang merupakan hak asasi setiap warga negara. Di Indonesia kebebasan berpendapat ini dijamin konstitusi.
Maka tidaklah tepat jika demonstrasi warga — tentang apapun itu — kemudian dihadapi dengan kekerasan oleh aparat negara. Sebab kekerasan saja, pembungkaman suara saja, tanpa upaya menyelesaikan akar masalah justru akan memperkuat resistensi dan memunculkan semangat militansi. Untuk makin menentang dan makin keras membangkang. Protes dan demonstrasi bisa jadi makin meluas. Dengan tuntutan yang juga makin jauh.
Dulu Orde Baru jatuh juga karena sikap semacam itu. Sikap otoriter. Tak mau mendengar. Tak mau dialog. Penyalahgunaan kekuasaan jadi tontonan telanjang. Kekayaan bangsa dikuasi segelintir kroni. Korupsi merajalela. Kekuasaan terpusat. Aparat melakukan tindakan keras membungkam aspirasi yang berbeda. Ada ancaman dan ketakutan untuk bersuara berbeda. Para aktivis dipenjara.
Memang ngeri Orde Baru itu. Kita yang mengalami hidup pada jaman itu pasti paham.
Toh akhirnya Orde Baru yang nampaknya kokoh dan garang itu tumbang juga. Ketika rakyat yang tertindas telah mengatakan cukup dan bergerak melawan.
Mustinya jatuhnya Soeharto dan rejim Orde Baru jadi pelajaran bagi kita. Agar siapapun yang saat ini memegang amanah kekuasaan, tak mengulang sejarah yang sama.