Scroll untuk baca artikel
Blog

Tamancovid – Cerpen Eko Tunas

Redaksi
×

Tamancovid – Cerpen Eko Tunas

Sebarkan artikel ini

TANGGUL itu di hari-hari kemarin adalah tanggul terindah. Tanggul sungai menjelma taman terpanjang. Bersama beberapa bangku dan lampu-lampu. Bintang-bintang bagai menyatu dengan ribuan bulan segi empat gedung-gedung tinggi. Bagai mencermin kunang-kunang di permukaan sungai. Di hari-hari kemarin inilah taman pertemuan, tempat berjanji, juga musik koplo. Sekarang sunyi menyaput diembus angin dingin menjekut tanah dan pohonan.

Di lereng tanggul gubug-gubug plastik sudah ditinggalkan. Tinggal kibarannya mencipta musik tiupan angin. Bagai nafiri dunia gaib, seakan muncul dari sepasang pipa raksasa air serupa jembatan. Bersama desah suara perempuan seperti bernyanyi irama maya. “Angin, angin, kemana kau pergi, kau tinggalkan aku di saat seperti ini…”

Ia memang memanggil Angin, karena datang dan pergi seperti angin. Dan Angin memanggilnya Kunang, sebab suka melihat kunang. Angin akan datang dan membawa kabar dari gadget yang hidup kembali. Tentang keadaan sekarang yang membuatnya takut. Ia hanya bisa berharap Angin akan datang, tidak berberita data, tapi mengungkap pikiran yang ia sukai.

Ya, orang-orang di gedung-gedung tinggi itu dicekam rasa takut. Sedang dirinya hanya takut saat Angin pergi, dan begitu datang tak ada lagi rasa takut. Di sini tak ada pengurungan diri. Meski di gubugnya, di bawah jembatan, dekat sungai dan dekat kunang. Meski di tiap perjumpaan kembali rasa cemas mengilukan dada. “Aku tidak melihat seorang pun di jalan, di stasiun juga tak ada lagi kereta lewat…”

“Stop,” sergah Kunang kepada Angin yang ndeprok di hadapannya, “jangan kau kabarkan berapa hari ini yang sakit apalagi berapa yang mati.” Selalu ia kemudian sodorkan gelas kopi dari tungku. Lalu mereka merokok sembari menyeruput kopi. Sebagai orang Tegal sudah ia masakkan nasi ponggol setan yang disukai Angin. Walau Angin datang dari gedung-gedung tinggi itu. Mereka hampir seusia, hanya nasib beda, antara kaum menara kota dan urban pinggiran terbuang.

ANGIN berkostum serba jins belel dengan banyak lobang angin. Meski diceritakan, saat di rumah ia anak manis di hadapan papie-mamie. Kunang berpakaian biasa, meski sebentar nanti bagai sulapan, berubah menjadi bidadari. Setelah ia menyanyi yang dihapal Angin, sebab suka adegan sintren yang selalu disajikan Kunang. Suara tembangnya menyepi-nyepi menyelinapi beton dan baja kota, mengalun dan melantun:

Turun turun sintren
Sintrene Widadari
Ana kembang yona-yoni
Ana kembang yona-yoni
Sintrene temuruna…

Cahaya hanya sinaran kuning lampu mercuri membias dari balik jeruji besi. Lalu bunyi tiang listrik dipukul batu beberapa kali tanda pukul berapa. Kunang masuk ke dalam kurungan ayam tertutup sarung. Di antara biasan cahaya mercuri muka Angin bagai takjub, seperti ingat orang-orang yang mengurung diri karena wabah penyakit. Ia seperti mau protes, ini memang wabah penyakit, mengapa banyak orang bicara kematian tersia.

Ia ingin mengatakan hal itu kepada Kunang di dalam kurungan, tapi terdengar lagi tembang sintren Kunang yang mengurung diri. Seperti suara nestapa dan kesedihan orang terkurung dan terancam suara-suara kematian. Turun-turunlah sintren, sintrennya bidadari, menemu bunga warna-warni, o sintren turunlah. Pelan-pelan kurungan terkuak, dan muncullah Kunang sudah berias dandan layak ronggeng. Menari Kunang dalam tarian gemulai, diiringi tembangnya yang meluluh jauh.

O membayang serasa tak jauh, mayat-mayat korban wabah terbungkus plastik di pinggir jalan. Lalu tarian sintren, adakah gerak dalam sunyi. Sunyi dalam kesedihan, nestapa menunggu giliran. Sampai di mana wabah menjarah nyawa tak pandang sesiapa. Juga peti mayat terbuat dari kardus, menunggu diambil atau dikuburkan. Orang-orang di mana-mana bermasker, menjaga diri, menjaga jarak antara.