TANGGUL itu di hari-hari kemarin adalah tanggul terindah. Tanggul sungai menjelma taman terpanjang. Bersama beberapa bangku dan lampu-lampu. Bintang-bintang bagai menyatu dengan ribuan bulan segi empat gedung-gedung tinggi. Bagai mencermin kunang-kunang di permukaan sungai. Di hari-hari kemarin inilah taman pertemuan, tempat berjanji, juga musik koplo. Sekarang sunyi menyaput diembus angin dingin menjekut tanah dan pohonan.
Di lereng tanggul gubug-gubug plastik sudah ditinggalkan. Tinggal kibarannya mencipta musik tiupan angin. Bagai nafiri dunia gaib, seakan muncul dari sepasang pipa raksasa air serupa jembatan. Bersama desah suara perempuan seperti bernyanyi irama maya. “Angin, angin, kemana kau pergi, kau tinggalkan aku di saat seperti ini…”
Ia memang memanggil Angin, karena datang dan pergi seperti angin. Dan Angin memanggilnya Kunang, sebab suka melihat kunang. Angin akan datang dan membawa kabar dari gadget yang hidup kembali. Tentang keadaan sekarang yang membuatnya takut. Ia hanya bisa berharap Angin akan datang, tidak berberita data, tapi mengungkap pikiran yang ia sukai.
Ya, orang-orang di gedung-gedung tinggi itu dicekam rasa takut. Sedang dirinya hanya takut saat Angin pergi, dan begitu datang tak ada lagi rasa takut. Di sini tak ada pengurungan diri. Meski di gubugnya, di bawah jembatan, dekat sungai dan dekat kunang. Meski di tiap perjumpaan kembali rasa cemas mengilukan dada. “Aku tidak melihat seorang pun di jalan, di stasiun juga tak ada lagi kereta lewat…”
“Stop,” sergah Kunang kepada Angin yang ndeprok di hadapannya, “jangan kau kabarkan berapa hari ini yang sakit apalagi berapa yang mati.” Selalu ia kemudian sodorkan gelas kopi dari tungku. Lalu mereka merokok sembari menyeruput kopi. Sebagai orang Tegal sudah ia masakkan nasi ponggol setan yang disukai Angin. Walau Angin datang dari gedung-gedung tinggi itu. Mereka hampir seusia, hanya nasib beda, antara kaum menara kota dan urban pinggiran terbuang.
ANGIN berkostum serba jins belel dengan banyak lobang angin. Meski diceritakan, saat di rumah ia anak manis di hadapan papie-mamie. Kunang berpakaian biasa, meski sebentar nanti bagai sulapan, berubah menjadi bidadari. Setelah ia menyanyi yang dihapal Angin, sebab suka adegan sintren yang selalu disajikan Kunang. Suara tembangnya menyepi-nyepi menyelinapi beton dan baja kota, mengalun dan melantun:
Turun turun sintren
Sintrene Widadari
Ana kembang yona-yoni
Ana kembang yona-yoni
Sintrene temuruna…
Cahaya hanya sinaran kuning lampu mercuri membias dari balik jeruji besi. Lalu bunyi tiang listrik dipukul batu beberapa kali tanda pukul berapa. Kunang masuk ke dalam kurungan ayam tertutup sarung. Di antara biasan cahaya mercuri muka Angin bagai takjub, seperti ingat orang-orang yang mengurung diri karena wabah penyakit. Ia seperti mau protes, ini memang wabah penyakit, mengapa banyak orang bicara kematian tersia.
Ia ingin mengatakan hal itu kepada Kunang di dalam kurungan, tapi terdengar lagi tembang sintren Kunang yang mengurung diri. Seperti suara nestapa dan kesedihan orang terkurung dan terancam suara-suara kematian. Turun-turunlah sintren, sintrennya bidadari, menemu bunga warna-warni, o sintren turunlah. Pelan-pelan kurungan terkuak, dan muncullah Kunang sudah berias dandan layak ronggeng. Menari Kunang dalam tarian gemulai, diiringi tembangnya yang meluluh jauh.
O membayang serasa tak jauh, mayat-mayat korban wabah terbungkus plastik di pinggir jalan. Lalu tarian sintren, adakah gerak dalam sunyi. Sunyi dalam kesedihan, nestapa menunggu giliran. Sampai di mana wabah menjarah nyawa tak pandang sesiapa. Juga peti mayat terbuat dari kardus, menunggu diambil atau dikuburkan. Orang-orang di mana-mana bermasker, menjaga diri, menjaga jarak antara.
Bahkan bukan hanya orang, kota pun disemprot cairan anti virus. Jalan raya, kampung, pasar, perkantoran, rumah ibadah. Akan tetapi jumlah yang sakit dan yang mati terus meningkat. Di negara-negara maju korban lebih banyak, kemudian di negara-negara berkembang. Angin terpana pandang dalam tarian Kunang bagai virus ada tiada, menyepi-nyepi jiwa terlara.
BENARKAH virus itu begitu kecil, bahkan tak kasat mata, batin Angin. Virus Covid namanya. Betapa dalam khayalnya, begitu besar, lebih besar dari dunia, karena kekuasaannya begitu mencekam jagad. Apakah ia semesta yang bangkit maya tapi nyata pandeminya. Seperti yang dirasakannya, inikah cinta, bagian dari maya sang rindu begitu nyata dalam tarian sintren. Kunang yang maya sebagai perempuan entah berentah, tapi serasa nyata dalam rasa.
“Ada apa Angin..,” tanya nyanyi Kunang berhenti menari, gemulai menghampiri Angin.
“Terbalik,” tukas Angin selalu, menyanyikan lagu puisi Umbu Landu Paranggi. Bernyanyi ia, “apa ada angin di Jakarta…” Berdua mereka bernyanyi, “seperti diembus desa melati, apa cintaku bisa lagi cari, akar bukit Wonosari, yang diam di dasar jiwaku, kenangkanlah jua yang celaka, orang usiran kota raya…”
“Kamu mau pulang ke desaku, Angin,” tanya Kunang bersimpuh ke dekat Angin. Senyumnya mengembang melihat Angin mengangguk, lalu membisik, “tapi kita tak boleh mudik.” Dalam jarak sepencium mereka bertatapan bagai saling berita. Lalu desah nyanyi mereka, merampungkan lagu puisi, “pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati.”
Angin menghela serangkum napas Kunang, “sekarang aku tahu, seperti katamu sintren bisa menjelma bidadari dengan satu syarat masih perawan.”
Tawa Kunang mendecah, “padahal itu tak mungkin untukku.”
“Mungkin.”
“Kok..?”
Bisik angin, “hatimu perawan.”
Dibiasi remang cahaya bayangan mereka menyatu, dalam bayangan hitam wabah terkelam. O bayangan terlempar bayang, dalam cinta yang ternyata hanya kepingan rindu mendera kalbu. Seperti desah, seperti nyanyi, seperti bisik, seperti dendam, seperti jeritan, seperti diam. Juga aroma melati di antara bau mayat, dalam bayangan paling sarat larat…..
Lalu mayat-mayat terapung terbawa aliran sungai membelah kota.***
Semarang 21 April 2020
*Eko Tunas; Sastrawan Indonesia. Seniman serba bisa. Menulis, melukis, berteater sejak SMA. Lahir di Tegal 1956. Sekarang tinggal dan menetap di Semarang.
Diskusi tentang post ini