Scroll untuk baca artikel
Cerpen

Bangku Panjang di Cikini – Cerpen Yayat R Cipasang

Redaksi
×

Bangku Panjang di Cikini – Cerpen Yayat R Cipasang

Sebarkan artikel ini

AKHIR Februari. Hujan deras baru saja reda. Beton dan aspal di jalan dengan cepat mengering. Aku duduk dan berselonjor di kursi pinggir jalan. Trotoar Cikini 53 masih menyisakan sedikit genangan air.

Dua anak laki-laki berseragam sekolah menengah pertama baru saja keluar dari gerbang sekolah dan membuyarkan genangan air tersebut hingga tandas. Air menciprat ke teman di sebelahnya. Mereka pun bakupukul dengan penuh keakraban.

Kekerasan yang dilakukan dianggap sebagian orangtua mungkin keterlaluan. Tetapi itulah keakraban versi anak-anak sekolah. Mereka nyaris gulat dan baju bagian belakang mereka kotor sisa lumpur yang dibawa telapak sepatu pejalan kaki.

Orangtua selama ini sangat sensitif. Selalu berlebihan. Ketika anak berantem kemudian memar-memar dengan gampangnya lapor polisi. Sehingga keakraban pun hilang. Padahal mereka juga sebenarnya merasakan masa kecil yang gembira dan penuh dengan kekerasan. Verbal maupun fisik.

Dulu, kita sangat gembira ketika saling ledek dan saling menghina nama orangtua. Mungkin hanya saat itu ketika kita dihina tetapi bisa tertawa bahagia. Sangat absurd.

Posisi matahari hampir tepat jatuh di kepalaku. Tapi pohon mahoni yang segan tumbuh masih bisa melindungi dari teriknya.

Dulu, setahun lalu aku duduk bersebelahan dan saling berhadapan di tempat yang sama dengan Angelina. Seorang ibu muda yang selalu mengantar seorang putrinya kelas sembilan sekolah menengah pertama.

Dia selalu bawa buku terutama novel sastra terjemahan. Kebetulan saat itu aku yang berjalan kaki dari PDS HB Jassin di Kompleks Taman Ismail Marzuki mengempit sebuah buku populer “A Man Called Ove” karya novelis Swedia Fredrik Backman. Sementara Angelina menenteng novel “Strange Pilgrimes” karya Gabriel Garcia Marquez hampir bersamaan duduk di bangku yang sama.

“Panggil Lina saja,” katanya saat itu.

Lina memiliki wajah menyerupai aktris Diane Lane dalam “Unfaitful”. Itulah penanda yang sampai sekarang selalu terbayang sangat detail. Karena itu ketika ingat Lina, aku buka kanal YouTube, di sana ada film utuh “Unfaitful”.

Kursi panjang yang salah satu baut penyangga bagian bawah sudah lepas menjadi saksi aku dan Lina bertukar buku dan juga cerita.

Kita tidak pernah menceritakan atau bertanya mengenai masalah pribadi. Kita hanya berdiskusi mengenai buku seolah seorang kritikus buku profesional.

Kadang diskusi itu menjadi ajang mencela terjemahan yang jelek dari sebuah penerbit ternama. Justru menemukan terjemahan yang bagus dari penerbit kecil di Yogyakarta.

Apapun selalu kita bicarakan tetapi hanya tentang buku. Akupun tidak ingin tahu mengenai pribadi Lina dan mungkin Lina pun begitu.

Pertemuan pertama sampai ke sepuluh di tempat yang sama kita hanya berdiskusi tentang buku, novel dan sastra.

Ketika lelah berdebat dan bercerita tentang buku, kita selalu punya inisiatif untuk mencairkannya. Sebuah kafe kecil tak jauh dari bangku panjang itu menjadi tempat diskusi selanjutnya sambil menyesap kopi atau memesan penganan roti bakar atau kentang goreng.

Diskusi baru berakhir ketika jam sudah menunjuk angka 13.20. Sepuluh menit sebelum sekolah bubar. Jamnya selalu tepat. Tidak lebih dan kurang. Klub buku bubar kendati diskusi sedang dalam puncaknya. Tidak ada urusan.

“Kita lanjutkan lagi. Kamis depan. Kita cukup bertemu seminggu sekali,” katanya pada pertemuan yang ke sepuluh.

Aku mengangguk sambil menyorongkan kunci mobil yang tergelatak di meja.

“Terimakasih.”

“Sama-sama. Terimakasih traktirannya ya.”

Lina hanya tersenyum dan kemudian berbalik.

Ini hari Kamis, aku masih duduk di tempat yang sama. Aku selalu siap untuk diskusi tentang novel baru.