Scroll untuk baca artikel
Kolom

Sukrasana Mati Dibunuh Kekuasaan

×

Sukrasana Mati Dibunuh Kekuasaan

Sebarkan artikel ini
sukrasana
Ilustrasi Anies Baswedan

Sukrasana, raksasa berhati mulia yang berkorban demi kakaknya, berhadapan dengan kejamnya takdir, meninggalkan kisah pengabdian yang tertutupi oleh ambisi dan hegemoni kekuasaan.

BARISAN.CO – Sukrasana memiliki seoarang kakak bernama Bambang Sumantri. Sukrasana dan Bambang Sumantri merupakan putera Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan Dewi Darini. Kakak beradik tersebut memiliki rupa berbeda, Sukransana tidak setampan kakaknya ia berwujud raksasa kerdil dan wajah yang seram.

Namun begitu Sukrasana memiliki kelebihan memiliki kesaktian yang luar biasa dan hati mulia. Sukrasana mengabdi pada Bathara Wisnu dan bertugas sebagai juru taman Sriwedari di Kahyangan Untarasegara. Sedangkan kakaknya Bambang Sumantri menjadi elite kekuasaan Raja Agung Harjuna Sasrabahu.

Ia bisa menjadi bagian keluarga elit kerajaan semata-mata karena bantuan adiknya Sukrasana. Pada saat itu Raja Agung Harjuna Sasrabahu meminta untuk memindahkan taman Sriwedari ke Maesapati dan Sukrasana berhasil memindahkannya.

Namun karena memiliki wajah buruk rupa, Sumantri merasa malu. Lalu meminta adiknya untuk pergi dan bahkan menakutinya dengan panah. Tanpa sengaja busur panah melesat dan menusuk perut Sukrasana.

Sosok Sumantri kerap menghiasi bangku kekuasaan di negeri ini. Mereka memiliki mentalitas pengabdian, namun sifat dan sikapnya borjuis dan hedonis.

Tidak memahami antara kebaikan dan kebenaran. Kebenaran adalah menurut dirinya dan yang menjadi pertuannya.

Mereka membela mati-matian, meski tampak salah. Bagi mereka kesalahan yang terorganisir akan menjadi kebenaran, inilah fenomena post truth.

Pembelaan terorganisir bisa dilakukan oleh para buzzer, influencer, maupun media-media pendukungnya.

Cerita semacam ini muncul tidak hanya pada cerita Sukrasana dan Bambang Sumantri. Seperti kisah Mahabharata, antara Pandawa dan Kurawa.

Padahal keduanya adalah kakak adik. Sedangkan mentalitas mengikuti atau sendiko dawuh atas titah pimpinannya dipraktikkan Resi Dorna, Bisma yang agung dan Karna.

Ketiganya dibutakan dengan kekuasaan berupa pengabdian namun mengabdi pada yang salah. Padalah ketiganya tahu bahwa hal tersebut tidak benar.

Akan tetapi karena memiliki mental yang lemah sehingga harus taat apa yang dikehendaki rajanya.

Para pengabdi pada kesalahan atau ketidakbenaran memang mendapatkan segalanya baik jabatan maupun materi. Mereka tidak akan menemukan kebenaran pada dirinya. []