Pendidikan kita berada dalam kondisi darurat, membutuhkan keberanian rakyat untuk mengambil alih inisiatif demi menciptakan terobosan baru yang mampu memperbaiki kualitas generasi mendatang.
Oleh: Adib Achmadi
(Pemerhati Pendidikan)
PEJABAT berwenang itu berdiri di mimbar. Ia menyampaikan hasil survei yang pernah dilakukan pada pengguna berkenaan dengan karyawan lulusan S1. Ada empat hal yang ia catat.
Pada urutan tertinggi, sarjana S1 tak bisa baca. Bukan tak mampu mengeja kata, tapi tak paham membaca laporan. Bahkan sekedar sebuah paragraf, mereka tak mampu menangkap maknanya.
Di urutan berikutnya, sarjana S1 tak mampu menulis. Menurut pejabat itu wajar, apa yang akan ditulis kalau membaca tak bisa? Pada urutan ketiga, buruk etos kerja dan keempat, lemah dalam kemampuan komunikasi.
Nama pejabat itu Satrio Soemantri Brojonegoro, Mentri Riset dan Pendidikan Tinggi. Isi pidato itu, sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sudah dalam rentang panjang potret pendidikan, utamanya pendidikan dasar-menengah kita buruk rupa.
Setidaknya 24 tahun berjalan, sejak tahun 2000, mutu pendidikan kita tak bergerak dari level satu versi PISA (Programme for International Student Assessment) yang diinisiasi OECD (Organisation for Co-operation Economic and Development).
Pada level itu artinya siswa kita hanya mampu membaca tapi tak paham isinya. Kemampuan siswa kita pada level ini hanya bertumpu pada hafalan.
Sulit di pahami, 12 tahun belajar di sekolah (SD – SMA), hanya menghasilkan kemampuan baca tapi tak paham isinya. Mereka itu, meminjam istilah Ignas Kleden, buta huruf aksara. Secara taknis mereka bisa baca, tapi secara fungsi tidak, atau kemampuan bacanya tidak fungsional.
Tak banyak bisa diharap pada mutu generasi level satu. Apalagi menuntut pada soal-soal lain yang lebih luas semacam pendidikan karakter, perilaku sosial, peduli bangsa dan isu global.
Itu isu yang amat jauh dari generasi nirliterasi. Pada siswa level satu, juga tak relevan mau pakai Ujian Nasional atau tidak. Dua-duanya akan bermasalah.
Kurikulum kita sejak dulu menggunakan model subyek akademik. Pada model ini kurikulum berisi kumpuluan ilmu pengetahuan baku. Faktor intelektual menjadi penting, karena penguasaan ilmu pengetahuan dan perilaku diharapkan ⁸akan diperoleh dari serapan sumber pengetahuan melalui pelajaran.
Jika siswa hanya berada di level satu, kurikulum itu menjadi tak berdampak karena konten dalam kurikulum tak dipahami.
Sekarang, kabar buruk itu makin sempurna. Level satu itu terjadi tidak hanya di jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menteri Riset Dikti menyampaikan hal itu dalam pidatonya, bahwa sarjana S1 kita juga gagal paham dalam membaca dan menulis.
Kenyataan ini, sesungguhnya bukan semata persoalan pendidikan biasa. Kata paling tepat mewakili adalah tragedi pendidikan.