Oleh: Adib Achmadi
Kurikulum kita relatif padat pengetahuan. Berbagai tuntutan ingin dicapai lewat kurikulum seperti sains, matematika, bahasa, ideologi, agama, kesehatan jasmani, dan budaya. Sains dibagi lagi menjadi IPA dan IPS.
Bahasa juga dipecah-pecah dalam subbahasa seperti bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris. Belum lagi pada pendidikan berbasis agama, ada tambahan pelajaran seperti akidah, tafsir, hadist, tarikh, bahasa arab dll. Semua tuntutan itu diterjemahkan dalam satuan pelajaran.
Pada desain kurikulum, masing masing pelajaran memiliki target yang harus dicapai pada tiap pertemuan sepanjang kurun waktu pembelajaran. Semua target pembelajaran itu diukur keberhasilannya atau efektivitasnya melalui ujian dan tugas-tugas.
Dan semua ujian, baik itu tengah semester (UTS), akhir semester (UAS) maupun Ujian Nasional adalah ujian pengetahuan yang ranahnya kognitif. Kemampuan pikir dalam penguasaan pengetahuan ditagih kembali saat ujian. Siswa disebut berhasil jika nilai ujiannya baik. Sebaliknya, disebut gagal jika nilai ujiannya jeblog.
Gambaran sepintas di atas menunjukkan betapa berat beban pendidikan. Siswa harus menanggung banyak sekali pengetahuan yang harus dikuasai. Terbayang berapa buku pelajaran dalam tas siswa. Dan terbayang pula bagaimana jika tiap mata pelajaran ada tugas atau pekerjaan rumah yang harus diselesaikan siswa.
Belum lagi jika beban itu berupa tingkat kesulitan materi pelajaran yang rata-rata siswa tak mudah menguasai. Tentu siswa akan menanggung beban yang cukup berat di dalam maupun di luar kelas. Beban itu baik yang sifatnya fisik (isi buku dalam tas) maupun beban mental dalam bentuk kesulitan materi serta banyaknya tugas tugas yang harus diselesaikan.
Selain itu, dengan padatnya pelajaran dan tugas, siswa sekarang relatif makin sempit ruang geraknya untuk bersosialisasi (bermain) maupun mengembangkan diri.
Persoalan utama lainnya dalam dunia pendidikan kita adalah metode pembelajaran yang cenderung searah. Guru masih menjadi pusat pembelajaran.
Meski model pembelajaran itu bermacam-macam, dalam praktiknya ceramah masih jamak dipakai. Metode pembelajaran ini menempatkan siswa sebagai obyek yang relatif pasif mendengar. Ketergantungan siswa pada guru dalam metode pembelajaran ini relatif besar. Kemandirian belajar siswa relatif kurang terjangkau.
Begitu ketergantungan siswa terhadap guru sangat besar dan di tengah begitu banyaknya matapelajaran yang harus dikuasai siswa, kondisi pandemi sekarang menjadi runyam kalau tidak boleh dibilang petaka.
Jangankan harus belajar dengan cara daring (PJJ), belajar melalui tatap muka saja siswa belum merasakan efektivitasnya. Belum lagi pembelajaran daring masih meninggalkan masalah tersendiri seperti soal sinyal, keterbatasan ekonomi orang tua siswa, dan kebiasaan menggunakan teknologi dalam belajar. Hal ini memperparah proses pembejaran.
Kondisi pandemi membuat pendidikan alami guncangan besar. Dunia pendidikan berada dalam keadaan darurat lantaran proses pembelajaran di sekolah mengalami gangguan hebat kalau tidak boleh dibilang macet.
Terpuruknya dunia pendidikan terjadi utamanya dalam dua hal, pertama kemandirian belajar yang belum terbangun dan terganggunya interaksi langsung guru dengan siswa.
Bisa dipahami bila pada posisi ini negara melalui Menteri Pendidikan menyatakan keadaan darurat pendidikan. Atas keadaan itu Nadiem mengeluarkan kebijakan darurat kurikulum yang isinya antara lain menyederhanakan kurikulum nasional. Kurikulum dibuat fleksibel dan sesederhana mungkin, termasuk kompetensi dasar yang hendak dicapai. Kebijakan ini mengisyaratkan kurikulum kita memang tidak sederhana.