Scroll untuk baca artikel
Blog

A-Politik

Redaksi
×

A-Politik

Sebarkan artikel ini

Manusia politik dalam hal ini saya batasi dengan pengertian lebih sempit, mereka yang punya tujuan pragmatik untuk perjuangkan ideologinya dalam kontestasi politik

DALAM satu kesempatan saya bertemu dan diminta pertimbangan seorang anak muda yang tertarik untuk terjun ke dunia politik praktis. Dia anak muda milenial, cerdas, seorang artis lumayan populis, calon sarjana dari perguruan tinggi negeri ternama. Popularitasnya terbukti dengan banyaknya follower di sosmednya.

Dia minta agar saya berikan arahan untuk terjun ke dunia politik itu sebaiknya bagaimana. Tentu saya apresiasi. Jarang sekali ada anak muda milenial yang bertanya pada saya soal ketertarikanya masuk dunia politik. Saya sedikit tersanjung karena bukan sebagai politisi atau ahli politik tapi diminta pendapat demikian.

Pertama tama, karena dia sepertinya awam soal politik praktis atau malah politik dalam pengertian lebih luas. Makanya saya tanya, apakah dia ingin menjadi manusia politik, atau sebagai politisi saja.

Saya coba jelaskan juga apa bedanya sebagai manusia politik dan politisi itu. Manusia politik dalam hal ini tentu juga saya batasi dengan pengertian yang lebih sempit lagi, mereka yang punya tujuan pragmatik untuk perjuangkan ideologinya dalam kontestasi politik secara konstitusional. Sedangkan politisi itu dalam pengertian praktis sebagai orang yang ingin mengejar kekuasaan semata.

Setelah itu diskusi berlanjut. Dia sepertinya memang benar awam soal politik. Dia hanya melihat bahwa menjadi politisi itu ya cukup sederhana. Dikarenakan dia punya popularitas maka dia anggap itu cukup untuk modal jadi politisi.

Politik itu dianggapnya semacam jualan popularitas semata. Atau modal sosial lain seperti garis keturunan keluarganya, jaringan sosialnya selama ini. Lalu masuk menjadi anggota partai dan berusaha nyalon jadi anggota legislatif atau kalau punya keberuntungan ikut kontestasi masuk ke wilayah eksekutif. Jadi presiden, gubernur, bupati, walikota dan lainnya.

Dia punya argumentasi demikian karena yang dilihat saat ini partai itu banyak merekrut selebritis seperti dia. Kemudian banyak artis yang akhirnya sukses jadi legislatif atau eksekutif.

Dia memang benar. Modalitas politik itu memang dalam tentukan elektabilitas itu ya modalitas sosialnya ditambah modal finansial. Tanpa ini mustahil seseorang ikut kontestasi berhasil. Bahkan sudah bisa terjegal ketika seleksi di tingkat partai.

Saya juga katakan kalau tujuannya memang demikian maka strategi terpenting adalah bagaimana “beriklan” untuk dapatkan pencitraan. Tinggal pilih instrumennya apa? Mau gunakan jaringan organisasi atau cukup “jual diri”. Kalau mau serius, bangun organisasi dan kembangkan reputasi untuk dapatkan kepercayaan.

Dia bilang ingin jalan praktis. Sebab bagi dia politik itu dianggapnya sebagai perluasan karier dia. Bukan untuk tujuan lain lainnya.

Lalu setelah saya mengerti isi kepalanya, saya coba tanya apa preferensi ideologi politiknya. Dia katakan kalau dia ingin masuk ke partai yang hargai pluralisme dan bela rakyat kecil. Dia tidak mau masuk partai yang sektarian atau berbau bau agama.

Baiklah, saya sampaikan ada banyak pilihanya. Dari sekian banyak partai yang saya sebut dia sempat bingung kenapa kok partai partai itu sebetulnya mirip mirip semua.

Saya jawab dengan tegas, ya itulah kondisi partai politik kita. Selain mirip mirip semua juga isinya kebanyakan kader kader pragmatis yang hanya pentingkan urusan karir pribadinya. Bukan kepentingan ideologis untuk perjuangkan nilai nilai dan prinsip prinsip partai secara serius.

Lalu dia mulai tambah tertarik dan kemudian buat pernyataan kalau pindah pindah partai asal punya modalitas sosial dan finansial memadai itu biasa saja. Saya bilang kalau untuk tujuan pragmatis ya okey okey saja.