Suatu ketika pernah datang calon pemimpin di desa Pak Kardi. Pemimpin itu sangat berwibawa dengan diiringi mobil-mobil mewah merk luar negeri. Ya, pastilah Indonesia saja hanya tempat memproduksi dan tempat orang yang siap jadi budak untuk berkerja.
Pemimpin itu hanya memakai pakaian batik khas Pekalongan, mungkin ingin menyesuaikan dengan penduduk desa, dia tidak memakai jas berdasi yang biasa digunakan untuk bertemu pejabat dan koleganya. Tapi batik yang menempel ditubuhnya tidak sebagus pakaian yang menutupi tubuh penduduk desa.
Penduduk desa menyambutnya dengan kemeriahan. Tangan pemimpin penuh kecupan lipstik produk kampungan dan bibir-bibir yang ingin mengusap kelembutan tangan calon pemimpinnya yang diakui akan memberikan kemakmuran di desanya.
Suara rebana bertabuh semakin kencang, sekencang suara sirene polisi yang ingin menangkap penjahat. Shalawat badar menyambut, laksana kemenangan didalam peperangan politik.
Di desa itu hanya disuguhi pengajian atau dakwah yang mengundang kiai ternama di tanah air ini. Dan semua penduduk desa menikmati penyampaian materi oleh kiai kondang tersebut, suara lembutnya telah menusuk hati penduduk desa. Setelah kiai itu memberikan wejangan atau nasehat yang mengebu-ngebu tentang pemimpin yang berbudi luhur untuk bangsa. Gantian calon pemimpin itu maju kepanggung menyuarakan kampanye politiknya di hadapan penduduk desa.
Gemuruh tepuk tangan menghiasi keakaraban penduduk desa yang telah dijanjikan berbagai kenikmatan dan kemudahan dan inilah janji poitik tawaran.
Tidak heran jika hiasan calon pemimpin juga masuk desa, bukannya pembangunan yang semestinya masuk desa malahan perebutan suara pendukung dan simpatisan.
Pak Kardi hanya pengayuh becak yang mencari rizeki penumpang di pasar dan desaku telah ramai dengan gosip politik, yang mereka tahu hanya bagaimana gizi bisa menambal perutnya bukannya visi dan misi pemimpin yang mereka kampayekan.
* * *
Pagi itu banyak orang berkerumun di sekitar lapangan sepak bola, bukan maksud ada turnamen tapi ini adalah mereka berseragam berwarna biru. Warna biru telah memadatinya seperti langit terang dengan kecerahan bukannya mendung yang diharapkan.
Ada beberapa ibu-ibu dan anaknya bertengger di bawah pohon beringin, karena terik matahari semakin terus meninggi menyilaukan wajah kusutnya, seperti biasa mereka menunggu kicauan burung ingin menetaskan telur. Ibu-ibu itu asyik ngobrol beberapa persoalan tampak anak-anaknya bermain sendiri di tengah kerumunan masa. Satu, dua, tiga kicau burung berbunyi, wajah-wajah kepanasan berseri-seri.