“Ardi.”
“Apakah ini kesejahteraan yang kau impikan, apakah ini mimpimu yang engkau cita-citakan.” Teriakan itu muncul dari mulut Pak Kardi yang belum tersadarkan. Ternyata dirinya telah berada di rumah sakit daerah.
“Mana anak dan istriku,” teriak Pak Kardi pada salah seorang yang berada di sampingnya.
“Sabar Pak, istri bapak ada di ruang sebelah dan tidak apa-apa coba lihat saja.” Pemuda itu menatap kearah pandangan Pak Kardi dengan kepercayaan yang mendalam.
Bergegas Pak Kardi menuju ruangan istrinya. Dalam pikirnya hanya terlintas pada kondisi kesehatan istri dan anaknya Ardi, bukannya berapa duit untuk membayar biaya berobatnya. Matanya dan hatinya tersontak diam beribu kata.
Di lihat istri tercintanya menangis tersedu-sedu di ranjang berwarna putih di bawah telapak tangan Ardi yang lemas dan belum sadarkan diri. Ardi telah mengalami benturan keras yang mengakibatkan kesadarannya belum kembali.
Tubuh Ardi penuh dengan luka, darah merah sedikit keluar dari tubuhnya namun matanya belum mampu melek tajam. Pak Kardi bersimpuh di pangkuan istrinya seraya meminta maaf.
Tangis air mata suami istri menyinari seluruh isi ruangan atas keperihatinan Arjuna yang beranjak remaja.
* * *
Wong ngaurip wus tamtu, akeh padha arebut piyangkuh, lumuh lamun kasor kaseser sathithik, nanging singa peksa unggul, ing wekasan dadi asor. Sebuah bait petikan “Serat Wedharaga” karya Ronggowarsito
“Ardi anakku maafkan Bapakmu ini yang telah mengajarkanmu tentang kebebasan dan demokrasi. Orang hidup itu selalu ingin mendapatkan kenikmatan dan kekuasaan”.
“Ardi anakku Bapakmu akan memberikan segalanya untukmu kemakmuran, kebahagiaan dan kesejahteraan bukan orang lain, maafkanlah perbuatan Bapakmu yang salah mengajarkanmu tentang gengsi kota. Tidak seorang pemimpin yang berebut kekuasaan yang menjerumuskan dia menjadi orang hina”.
“Untuk Ardi dan Istriku sabarlah di perbaringan ini, Bapakmu akan mencarikan uang untuk membawamu ke gubuk indah yang kita miliki di desa, bukanya kota yang penuh janji-janji dan mimpi. Bukan hina yang kita inginkan tapi kemulyaan di sisi Tuhan. Banyak pemuka agama, konglemerat, pendidik dan politikus belajar demokrasi yang tidak tahu arah yang mengakibatkan terjerumus di lembah kehinaan dan syahwat nikmat dunia serta nafsu menjadi orang nomor satu di negeri republik tercinta”
“Tunggulah Bapakmu untuk kembali dalam kebahagian keluarga yang kita idamkan”.
Pak Kardi menuju mushola yang berada di rumah sakit. Ia jalankan kewajibannya sebagai orang yang beriman, namun jiwanya semakin terluka ketika melihat Ardi anak semata wayangnya ia ajarkan tentang demokrasi yang sebelumnya belum pantas untuk diterima.
“Ampunilah hambamu ini Ya…Tuhan yang maha pengasih dan penyayang. Aku telah melakukan kehinaan, kebohongan, kemunafikan dan kebodohan dengan kalimat demokrasi untuk anak dan istriku.
* * *
* Cerpen ini pernah diterbitkan di Bulletin Suket Teki SKM Amanat UIN Walisongo Semarang