Scroll untuk baca artikel
Blog

Ajaran Politik – Cerpen Lukni Maulana

Redaksi
×

Ajaran Politik – Cerpen Lukni Maulana

Sebarkan artikel ini

“Aku adalah satu yang akan memberikan kemakmuran. Bukankah itu nyata dan tidak ada kemunafikan”. Tuan berwarna biru berjas hitam dengan dasi yang berkilauan berwasiat.

“Suaraku ini bukanlah raksasa yang kelaparan dan menunggu mangsa. Tapi suaraku adalah mimpi kalian, harapan kalian semua yang ada di tengah lapangan ini”.  Suaranya semakin tegas dan meyakinkan.

“Alangkah hinanya aku jika kalian sengsara dan aku akan membuat hidup kalian semua tidak lagi dibawah garis kemiskinan”.

Pagi telah mengantar siang mendiskusikan permasalahan negeri yang kaya duniawinya. Kemudian pemimpin itu keluar dari pangung seketika itu pula banyak orang yang ingin membelai manis tangannya di tengah kerumunan masa. Mobil sedan berpacu pelan melambaikan tanganya ke arah masa.

“Ya Allah sudah hampir jam dua siang. Aku belum menjalankan ibadah shalat.” Pak Kardi kaget seketika matanya yang melirik jam orang di sampingnya.

Bergegas Pak Kardi menghampiri istri dan anaknya yang bercengkrama di bawah pohon dan terlihat anaknya berlari-lari kecil menghampiri pangilan bapaknya.

“Ardi ayo kemari sudah besar ya sekarag kamu, sana ajak ibu ke becak”.

Pak Kardi berjalan mendekati becak yang menjadi tumpuan hidupnya. Namun masa yang begitu banyaknya membuat dirinya kesulitan karena banyak berjubel kendaraan, mobil dan truk memadati area parkir. Untung saja Pak Kardi sangat gesit, dikayuhnya becak yang telah ditumpangi istri dan anaknya untuk menuju masjid terdekat. Kecepatan ayunan hanya memberikan sedikit ruang bergerak, banyak mobil dan kendaraan berlalu-lalang dengan benderanya menutupi semua pandangannya.

Kepala Pak Kardi semakin pening. Sakit kepala yang dideritanya sejak satu bulan lalu seakan kambuh lagi, pandangannya mulai kabur, penglihatanya semakin tidak tajam. Ternyata sakit kepalanya sangat berpengaruh pada matanya.

“Brak”.

Mobil berplat kuning telah menabrak becak tua. Seketika itu Pak Kardi terjatuh tidak sadarkan diri, darah keluar dari badannya menembus pakaian yang membungkus kulitnya. Kerumunan masapun sedikit terganggu, mata-mata itu melirik dan mendekatinya ingin melihat kejadian tersebut. Mereka berjubel menyaksikan seorang bapak dan keluarganya yang tertabrak bus angkutan umum. Sejenak waktu, masa melanjutkan pawai menuju daerah yang menjadi rute perjalanan kampanye.

“Ardi.”

“Apakah ini kesejahteraan yang kau impikan, apakah ini mimpimu yang engkau cita-citakan.” Teriakan itu muncul dari mulut Pak Kardi yang belum tersadarkan. Ternyata dirinya telah berada di rumah sakit daerah.