Scroll untuk baca artikel
Risalah

Ajaran Sunan Kalijaga tentang Makrifat dalam Suluk Linglung

Redaksi
×

Ajaran Sunan Kalijaga tentang Makrifat dalam Suluk Linglung

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ajaran Sunan Kalijaga atau Raden Sahid senantiasa perlu dilestarikan dan bahkan diamalkan. Perlu dilestarikan ajarannya sebab Sunan Kalijaga salah satu Sunan yang berdakwah menyiarkan agama Islam dengan kesenian. Seperti dengan wayang, gamelan, syair dan tokoh Punokawan yang merupakan ciptaannya.

Sunan Kalijaga dengan beragam jalan kebudayaan dan melalui kearifan lokal inilah agama Islam mudah diterima oleh masyarakat. Beragam karya lahir dalam kepakarannya terutama melalui karya sastra yang menghasilkan beragam serat, wirid hingga suluk.

Wacana kesusastraan Sunan Kalijaga jika tilik epistemologinya tidak dapat lepas dari wacana Islam khas para sufi. Wacana sufi ditangan Sunan Kalijaga yang mengamalkan ajaran Nabi Muhammad Saw memadukan unsur kebudayaan masyarakat.

Salah satu ajaran mitikisme atau ajaran sufi karya Sunan Kalijaga yang memuat nilai-nilai ajaran makrifat yakni Suluk Linglung. Maha karya ajaran makrifat Sunan Kalijaga ini didasarkan kitab Duryat yang digubah oleh Imam Anom menjadi suluk linglung.

Ajaran makrifat dalam suluk linglung merupakan perjalanan spiritual Sunan Kalijaga. Lebih lengkap lagi perjalanan spiritual sang sunan tertuang pada karya serat Dewa Ruci. Dalam khazanah Mahabharta, Dewa Ruci merupakan cerita wayang tokoh Bima atau Werkudara melakukan perjalanan untuk mencari air kehidupan.

Bima dalam perjalanannya sampai ke samudera, lalu ia menyelam ke dasar samudera dan bertemu ular dalam literatur lain bertemu dewa kerdil. Saat berjumpa dengan ular, terjadilah pertarungan antara Bima dengan ular.

Hal ini dalam ajaran kitab Dewa Ruci Sunan Kalijaga sesungguhnya perjalanan spiritual Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidir. Diceritakan dengan tokoh Bima melakukan perjalanan mencari air kehidupan.

Sebagaimana kisah Nabi Musa yang dipertemukan Nabi Khidir diantara dua lautan. Pertemuan Nabi Musa layaknya Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir dengan bentuk perjalanan yang berbeda. Jika Nabi Musa tidak mampu menandingi keilmuan Nabi Khidir yang gagal dalam 3 perbuatan. Berbeda dengan Sunan Kalijaga dalam perjalanan spiritualnya dalam kitab Dewa Ruci.

Suluk Linglung

Suluk Linglung merupakan gubahan Imam Anom dari Kitab Duryat karya Sunan Kalijaga. Secara etimologi “Suluk” adalah jalan menuju kesempurnaan barin. Dari prespektif tasawuf suluk memiliki arti khalwat yakni menyendiri atau melakukan pengasingan. Sedangkan kesusastraan Jawa, suluk memiliki makna falsafah kehidupan yakni hubungan manusia dengan Tuhan.

Sedangkan arti Linglung dalam khazanah Jawa berarti “Bingung.” Makna dari bingung adalah sesuatu yang tidak memiliki kepastian. Sebagaimana Sunan Kalijaga mengalami dua ruang yang berbeda, yakni sebagai anak seorang bangsawan dan menjadi perampok.

Suluk Linglung karya Sunan Kalijaga ini mulai banyak dikaji oleh para peneliti dan akademisi. Kitab ini menjadi warisan berharga dari kasepuhan Kadilangu Demak yakni R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, keduanya merupakan anak cucu Sunan Kalijaga ke-13 dan 14.

Perjalanan spiritual Sunan Kalijaga tidak dapat lepas dari pertualanggannya menjadi begal atau perampok yang dikenal dengan Brandal Lokajaya. Lalu ia berusaha merampok Sunan Bonang, karena keterbatasan ilmu akhirnya Brandal Lokajaya bertekuk lutut terhadap Sunan Bonang.

Kemudia ia bertaubat oleh Sunan Bonang diajarkan beragam ilmu. Hal yang pertama dilakukan adalah menjaga tongkat Sunan Bonang di pinggir kali yang kemudian Raden Sahid ini dikenal dengan nama Sunan Kalijaga.

Ajaran Sunan Kalijaga tentang makrifat dalam Suluk Lingkung menekankan betapa pentingnya menjalankan syariat Islam. Sebagai jalur utama menuju ajaran hakiki yakni tentang salat lima waktu, puara ramadan, zakat, hingga haji ke Baitullah.