Scroll untuk baca artikel
Blog

Ajian Melepas Jerat Middle Income Trap

Redaksi
×

Ajian Melepas Jerat Middle Income Trap

Sebarkan artikel ini

Hal itu salah satunya tecermin dari ketergantungan Indonesia pada batu bara yang masih sangat tinggi. Pada 2020, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 63,92 persen. Ini jelas angka yang besar, dan tentu perlu standarisasi baru untuk mengembangkan ekonomi berkelanjutan.

Sebab jika tidak, Indonesia akan terus menjadi negara dengan status highly insufficient, yang berarti bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sekarang, kalau diterus-teruskan, hanya akan membuat iklim tidak mendukung rencana bangsa untuk keluar dari middle income trap.

Untung kabar baik itu datang: dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan 22 April 2021 lalu, Presiden Jokowi, di hadapan 41 kepala negara/kepala pemerintah/ketua organisasi internasional, menegaskan bahwa Indonesia telah menyiapkan skema untuk memperkuat ekonomi berkelanjutan.

Presiden Jokowi menyampaikan tiga hal di sana. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia serius dalam kendali perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, mengajak para pemimpin memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Ketiga, memperkuat kemitraan global demi mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya.

Presiden bukan bicara tanpa memberi contoh. Dia mengatakan bahwa Indonesia sedang mempercepat pilot net zero emission. Antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang diklaim terbesar di dunia.

“Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi,” kata Presiden Jokowi, dikutip dari Antara.

Namun demikian, kalau dilihat kembali, agaknya arah pembangunan ekonomi berkelanjutan masih sangat lemah dilihat dari segi anggaran. Hal itu dapat dilihat dari postur anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) pada tahun 2021 yang, di antaranya, tidak mencerminkan sense of crisis seperti yang disampaikan Presiden Jokowi dalam KTT Perubahan Iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) misalnya, yang idealnya menjadi eksekutor dalam urusan ekonomi berkelanjutan, justru hanya menempati urutan 18 dalam alokasi belanja K/L tahun 2021. Posisinya hanya setingkat lebih baik dari tahun 2020 yang menempati urutan ke-19.

Bahkan dalam realisasi tahun 2020 lalu, KLHK termasuk yang penyerapannya kurang baik. Alokasi belanja sukar dibilang optimal. Urutan persentase realisasi KLHK hanya yang ke-46 dari total 85 K/L, dengan realisasi 93,94%.