Oleh: Ananta Damarjati
Sejak 2019 Indonesia telah masuk kategori negara berpendapatan menengah atau middle income—dengan pendapatan per kapita per tahun sebesar US$4.136. Bank Dunia menetapkan rentang antara US$4.046 sampai US$12.535 dalam kategori middle income ini.
Middle income merupakan fase penting yang perlu pendekatan khusus: Rentang kategori ini demikian panjang. Dan berkaca dari data, cukup banyak negara dunia kesulitan untuk ‘keluar dari’ dan ‘menuju ke’ kategori negara berpendapatan tinggi. Dan inilah yang oleh para ekonom sering disebut middle income trap.
Tentu adalah tantangan besar bagi Indonesia untuk keluar dari middle income. Namun, dengan fakta bahwa pola pengembangan ekonomi Indonesia masih as usual—kurang inovatif, kurang tangguh, dan kurang adil dalam konteks yang luas—boleh jadi impian naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi akan direngkuh dalam waktu yang cukup lama.
Masalah dari kebijakan ekonomi as usual adalah sebab selama ini pola itu terkesan dijalankan dengan cara menyederhanakan kompleksitas menjadi angka-angka kering, di mana bobot kepentingan manusia, sosial, dan ekologi nyaris diabaikan.
Di satu sisi, eksploitasi sumber daya alam, teknologi yang tinggi karbon, penggunaan energi dan sistem transportasi yang tidak efisien, dan lain-lain, dijalankan sebagai motor utama pembangunan. Padahal, nyaris semua negara berpendapatan tinggi sudah mulai sadar untuk meninggalkan hal-hal semacam ini.
Maka, penting untuk merumuskan pola pengembangan ekonomi yang tepat agar negara kita tidak macet di dalam middle income trap.
Pemerintah sebetulnya sudah menelaah persoalan ini. Sekurang-kurangnya dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, sudah dikatakan bahwa ‘ekonomi berkelanjutan’ merupakan kunci untuk mengantar Indonesia menjadi negara pendapatan tinggi.
RPJMN adalah perencanaan pemerintah yang penting untuk dinilai terus menerus. Apalagi, bukankah urgensi dari sebuah perencanaan adalah untuk menjalankan rencana tersebut? Maka, penting untuk terus mengukur dan mempertanyakan sejauh mana ekonomi kita sudah memiliki dimensi keberlanjutan seperti yang tertuang dalam RPJMN.
Kita perlu bertanya, misalnya, apakah kita sudah mulai dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pada kecenderungannya, hal itu belum terjadi. Kita masih saja berfokus pada absolute present (hari dan sekarang), tanpa memedulikan bahwa segala sesuatunya bisa habis dan menjadi langka dan mahal di masa depan.
Hal itu salah satunya tecermin dari ketergantungan Indonesia pada batu bara yang masih sangat tinggi. Pada 2020, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 63,92 persen. Ini jelas angka yang besar, dan tentu perlu standarisasi baru untuk mengembangkan ekonomi berkelanjutan.
Sebab jika tidak, Indonesia akan terus menjadi negara dengan status highly insufficient, yang berarti bahwa kebijakan ekonomi Indonesia sekarang, kalau diterus-teruskan, hanya akan membuat iklim tidak mendukung rencana bangsa untuk keluar dari middle income trap.
Untung kabar baik itu datang: dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Leaders Summit on Climate yang diselenggarakan 22 April 2021 lalu, Presiden Jokowi, di hadapan 41 kepala negara/kepala pemerintah/ketua organisasi internasional, menegaskan bahwa Indonesia telah menyiapkan skema untuk memperkuat ekonomi berkelanjutan.
Presiden Jokowi menyampaikan tiga hal di sana. Pertama, menegaskan bahwa Indonesia serius dalam kendali perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata. Kedua, mengajak para pemimpin memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Ketiga, memperkuat kemitraan global demi mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya.
Presiden bukan bicara tanpa memberi contoh. Dia mengatakan bahwa Indonesia sedang mempercepat pilot net zero emission. Antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang diklaim terbesar di dunia.
“Kami sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis. Indonesia terbuka bagi investasi dan transfer teknologi, termasuk investasi untuk transisi energi,” kata Presiden Jokowi, dikutip dari Antara.
Namun demikian, kalau dilihat kembali, agaknya arah pembangunan ekonomi berkelanjutan masih sangat lemah dilihat dari segi anggaran. Hal itu dapat dilihat dari postur anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) pada tahun 2021 yang, di antaranya, tidak mencerminkan sense of crisis seperti yang disampaikan Presiden Jokowi dalam KTT Perubahan Iklim.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) misalnya, yang idealnya menjadi eksekutor dalam urusan ekonomi berkelanjutan, justru hanya menempati urutan 18 dalam alokasi belanja K/L tahun 2021. Posisinya hanya setingkat lebih baik dari tahun 2020 yang menempati urutan ke-19.
Bahkan dalam realisasi tahun 2020 lalu, KLHK termasuk yang penyerapannya kurang baik. Alokasi belanja sukar dibilang optimal. Urutan persentase realisasi KLHK hanya yang ke-46 dari total 85 K/L, dengan realisasi 93,94%.
Dengan menimbang pula banyak hal lain, dapat disimpulkan bahwa anggaran untuk ekonomi berkelanjutan belum diaktualisasi secara memadai oleh pemerintah. Ini tentu saja menggemaskan, mengingat pemerintah sendiri yang mengisyaratkan bahwa ekonomi berkelanjutan penting digalakkan demi keluar dari jerat pendapatan negara menengah.
Maka, pemerintah perlu melakukan upaya yang lebih ambisius dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan. Kalau perlu sampai ke tingkat obsesif. Ciptakan inovasi energi baru dan terbarukan, dorong aturan yang tegas tentang ekonomi berkelanjutan, terus lakukan internalisasi kesadaran kepada publik, dan lain-lain. Lewat kemauan politik yang kuat, hal itu bisa dilakukan. []
Ananta Damarjati, Redaktur Barisanco
Diskusi tentang post ini