BARISAN.CO – Komoditas minyak sawit Indonesia terus mendapat tekanan, mulai dari lembaga swadaya hingga negara-negara konsumen terutama Eropa. Pada 7 Maret 2021 yang lalu, Indonesia bahkan nyaris gagal membangun kesepakatan dagang dengan Swiss lantaran hampir separuh rakyatnya menolak minyak sawit Indonesia yang dianggap tak memenuhi standar keberlanjutan tata kelola.
Tapi pada akhirnya kesepakatan dagang itu tetap dijalankan. Swiss menggelar referendum dan 51,6% rakyatnya setuju masuknya sawit Indonesia. Dan itu adalah kali pertama Indonesia-Swiss menyepakati kerja sama komoditas ini.
Referendum Swiss disebut-sebut merupakan pintu masuk minyak sawit untuk diterima secara positif di Uni Eropa. Di sisi lain, itu juga mengisyaratkan bahwa kepercayaan masyarakat global terhadap komoditas minyak sawit Indonesia adalah hal terpenting yang terus dijaga dan ditingkatkan.
Akan tetapi, penasihat Forum Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan, Rusman Heriawan mengatakan, perbaikan tata kelola melalui Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) masih belum optimal.
Menurutnya, sampai akhir tahun 2020, baru ada 682 perkebunan sawit yang kantongi sertifikat ISPO. Luas lahan yang bersertifikat hanya 5,8 juta hektar dari total 16,38 juta hektar.
“Artinya, baru kurang lebih 35 persen luasan kebun sawit yang sudah ber-ISPO dibandingkan total luasannya … Padahal ISPO adalah kebutuhan dan menjadi indikator kuantitatif seberapa jauh perkebunan sawit menerapkan aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan yang menjadi penilaian negara lain,” kata Rusman dalam webinar yang diselenggarakan INDEF, Senin (7/6/2021).
ISPO sendiri dibentuk pada 2009 oleh pemerintah untuk memastikan semua pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan. Standar ini dikawal Kementerian Pertanian. Tujuannya tak lain adalah untuk meningkatkan daya saing di pasar dunia serta memenuhi komitmen Indonesia mengurangi gas rumah kaca (GRK).
Rusman Heriawan menjelaskan, dari total 16,38 juta hektar perkebunan sawit tadi, sebanyak 8,68 juta hektar dikelola swasta, 6,72 juta hektar dikelola petani baik plasma atau yang terikat pada perusahaan maupun yang swadaya. Sisanya, kurang dari 1 juta hektar adalah kebun sawit milik negara.
Pada lahan swasta, 63 persen di antaranya sudah bersertifikat. Lahan milik negara 32,5 persen sudah bersertifikat. “Yang menyedihkan sebenarnya adalah perkebunan rakyat. Baik itu plasma maupun swadaya, itu hanya 0,19 persen yang sudah bersertifikat dari total luasan mereka yang 6,72 juta hektar,” kata Rusman.
Padahal, menurut Rusman, pemerintah sudah memberi kesempatan besar kepada rakyat untuk mensertifikasi kebun plasma dan swadaya. Hal itu termaktub di antaranya dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024 (RAN-KSB), tetapi implementasinya masih tidak seimbang.
“Ketidakseimbangan sertifikasi harus mendapat perhatian. Tidak mungkin untuk memberikan kelonggaran aturan terutama bagi petani kecil plasma maupun swadaya, dan seluruh proses ini merupakan tanggung jawab bersama,” kata Rusman.
Negara Eksportir Sawit 2020 (juta ton)
Sumber data: Kemenperin.
Dalam kesempatan yang sama, penasihat senior Yayasan Kehati, Diah Suriadiredja juga mengatakan ada banyak permasalahan ISPO yang perlu segera diperbaiki.
Menurutnya, penerbitan sertifikasi ISPO sejauh ini masih belum sampai memperhatikan independensi dan transparansi. Kompetensi auditor yang melakukan tugas juga belum terukur. Selain itu, ISPO diberlakukan masih sebatas pada perusahaan perkebunan besar, dan belum banyak menyentuh pekebun kecil.