IBU mana yang tidak hancur, menyaksikan anaknya pulang dalam peti mati. Bahkan semula oleh petugas yang membawa, peti mati itu tidak boleh dibuka. Aku meraung setinggi langit, merengkuh peti mati, meratapi, tak bisa menerima kenyataan di depan mata.
Suamiku, baru ini kali aku lihat menangis pula, berteriak dengan penuh pinta agar peti mati itu dibuka, “buka, buka, aku minta peti mati ini dibuka! Bagaimana kami bisa tahu kalau di dalamnya adalah anak kami, bagaimana kalau bukan!”
Si petugas yang rupanya pemimpin rombongan berkilah, “jazad ini sudah dioutopsi, jadi tidak boleh dibuka. Sila bapak tandatangan surat tanda terima ini.”
Tegas suamiku, “saya tidak mau tandatangan kalau kami tidak melihat jazad anak kami!”
Setelah bersikeras selama setengah jam, akhirnya peti pun dibuka. Aku tercekat melihat wajah pucat anakku penuh luka. Di mata, hidung, mulut. Kemudian di leher, tangan, kaki, sebelum kancing baju dibuka. Lalu begitu satu demi satu kancing dibuka, luka di jasad anakku makin bertambah. Di dada, pinggang, seperti lobang bekas peluru yang ditembakkan.
Sontak kami berkesimpulan, anakku mati karena dibunuh. Bahkan besar kemungkinan disiksa dan ditembaki. Ratap tangis pilu kami pun bertambah larat. Aku, suamiku, dan anak-anakku serta saudara. Aku minta keadilan ya, Tuhan, tunjukkan bagaimana anakku mengalami kematian begitu nahas.
* * *
AKU ibu biasa, seorang guru Sekolah Dasar. Suamiku seorang petani kecil dengan sebidang tanah garapan. Kami tinggal di rumah petak, rumah kecil fasilitas di lingkungan sekolah, bersama anak-anak kami.
Sebagai guru aku juga memadankan diriku sebagaimana suamiku, sebagai petani. Aku mesti berkuajiban menanamkan ilmu dan kebajikan kepada anak-anakku. Juga terhadap anak-anak didikku
Aku mesti tetap bersemangat, terus menunjukkan kasih sayang terhadap anak-anak. Anak-anakku juga muridku di SD. Semua aku anggap anak-anakku sendiri. Aku mesti menanamkan budi pekerti yang sama.
“Besok besar kamu ingin jadi apa, Iko,” tanyaku kepada si sulung. “Polisi, Bu Guru..!”
Di kelas anakku memanggilku Bu Guru.
“Kamu, Ani, besok besar ingin jadi apa?” tanyaku kepada murid yang lain. “Ingin jadi guru, Bu Guru..!” “Kamu, Sanut?” “Seniman, Bu Guru!” “Baik” tukasku, “jadi polisi, guru, seniman, semua baik.” “Ya, Bu Guru.” “Sebab semuanya adalah seperti petani, menanam kebaikan bagi sesama manusia.” “Siap, Bu Guru..!”
* * *
DEMIKIANLAH murid muridku tumbuh silih berganti. Demikianlah memang petani kehidupan. Murid-murid tumbuh menjadi apa saja dalam kebaikan demi sesama. Aku diam diam merasa bahagia menyaksikan pertumbuhan mereka.
Juga anak-anakku, tumbuh sebagaimana yang mereka cita citakan. Ibu biasa mana yang tidak bangga melihat anaknya dalam seragam dinas. Menyusul Elo, adiknya, dalam kedinasan sama.
Pangkat demi jenjang mereka sematkan pada seragam mereka. Ayahnya tak kurang bangga pula. Seorang petani kecil melihat anak-anaknya dalam seragam dinas dan pangkat berbunga. “Benar ibumu,” ujar suamiku,” kalian juga petani yang bekerja menanam kebaikan bagi masyarakat.”
Mereka sudah berusia nikah, dan kami pun mendambakan punya cucu-cucu yang manis dan lucu. Iko sudah punya tunangan, Elo masih senyum-senyum saja kalau ditanya ayahnya: kamu belum punya pacar?
Hingga malam gulita membadai di dalam jiwa itu menerpa. Iko tewas oleh pembunuhan disertai penyiksaan. Penyelidikan dan penyidikan telah melewati bulan demi bulan, tapi tak kunjung selesai.
Kami hanya orang tua biasa, bagaimana daya kami menghadapi kasus kematian anak kami. Betapa dalang pembunuhan anak kami adalah bos, adalah pimpinan anak kami sendiri.