BARISAN.CO – Alun-alun di setiap daerah ada sejak zaman Fatahilah. Dimaksudkan sebagai halaman kabupaten atau masjid. Digunakan antara lain sebagai tempat gladen, atau latihan beladiri. Atau sebagai tempat rakyat menunggu keputusan para wali atau ulama mengadakan pertemuan.
Bagi rakyat alun-alun dijadikan ajang unjuk rasa. Tidak sebagaimana di jaman modern sekarang demo harus ribuan atau bahkan jutaan orang. Di jaman dulu, cukup satu atau dua orang berjemur diri di alun-alun. Itu pun membuat raja kepanasan di singgasana, kemudian bertanya, ada apa kok rakyatku pepe. Pepe dari bahasa Jawa berarti berjemur diri. Oh, ternyata rakyat minta kebijakan soal tanah.
Di jaman ideologi nasional+agama+sosialis (nasasos, yang diubah oleh PKI menjadi nasakom) alun-alun menjadi tempat milik rakyat. Sepenuhnya milik rakyat. Terutama atas kekuatan nasionalis dan sosialisme. Alun-alun menjadi lapangan upacara, olah raga, pasar tiban, jual obat atau ogan. Plus pasar malam berkala, warung-warung dari yang terang hingga remang.
Pendek kata alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat, bertemunya manusia dengan manusia. Sebagaimana hakikat pertemuan adalah keindahan, keindahan adalah pertemuan. Lebih dari itu, nilai silaturahmi. Kaum intelektual atau kalangan kampus menyebutnya ruang publik atau lebih keren: public space.
Pemaknaan dan praktik public space ini memuncak di era orde baru. Di pesta kemenangan orba, dan terbunuhnya institusi/nilai rakyat atas pesta bisnis abad baru. Alun-alun menjadi tempat show-biz terbesar, dan meningginya agama-is di sektor nasasos. Public space pun ditinggikan derajatnya atas alun-alun. Plus ada kepentingan politik di setiap perubahan fisiknya. Dari pasar besar dan panggung-panggung besar atas nama pembangunan, hingga reformasi.
Tampaknya reformasi justru menjelma menara gading orde baru. Alun-alun di banyak daerah berubah fungsi dan nilai kagunan, dari nilai pertemuan menjadi sekadar benda bernama taman kota. Bahkan alun-alun sebagai konservasi kota, tanah resapan, banyak dibetonisasi atau rumput plastik, bahkan berpagar.
Pendek kata, sosial historis alun-alun berubah lantaran nilai keindahan yang disalah-pahami. Keindahan adalah pertemuan, disalahartikan sebagai keindahan fisik taman. Dan itu cita rasa keindahan dari atas, dari penguasa. Hingga ada satu teori: pemimpin yang tidak bisa melakukan apa-apa demi kesejahteraan rakyat, maka yang dilakukannya hanya membuat hiasan berupa taman.