Air yang melimpah dari Bogor, baik saat hujan atau dalam keadaan normal seharusnya tidak langsung dibuang ke laut. Air bisa ditampung di kantong-kantong air di sekitar DAS, seperti waduk atau danau. Dan ketika musim kering air itu dapat dimanfaatkan atau dialirkan ke sungai kembali.
Normalisasi sungai seperti betonisasi, pembuatan tanggul dan membangun sodetan sebagai pengendalian banjir seharusnya bukan yang utama. Justru yang prioritas seharusnya memanfaatkan kelimpahan air tersebut dengan cara ditampung. Minimal setiap rumah, kemudian RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kota/Kabupaten, Provinsi secara berjenjang memiliki alat dan fasilitas penampungan atau penadah hujan sendiri sehingga air tidak langsung mengalir ke sungai.
Menurut pakar hidrologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Yanto PhD, pembangunan sodetan Ciliwung juga belum tentu efektif mengendalikan banjir.
“Sodetan Ciliwung merupakan satu paket pengendalian banjir dengan Kanal Banjir Timur. Sodetan Ciliwung lebih berfungsi mengurangi genangan banjir di hulu sodetan (sebelum air masuk ke sodetan),” katanya.
“Namun sodetan Ciliwung akan menambah beban aliran di Kanal Banjir Timur. Dampaknya terhadap wilayah di hilir adalah mempercepat air masuk yang berpotensi menimbulkan banjir terutama jika bersamaan dengan naiknya pasang air laut,” tegas Yanto.
Cara-cara pengendalian banjir noninfrastruktur memang tidak populer. Tidak bisa dikonversi untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas karena hasilnya baru terasa 25 atau 30 tahun ke depan. Sementara politikus maunya hasil terlihat sebelum lima tahun.
Jadi, tenang saja kemungkinan warga Bogor, Depok dan Jakarta ‘perang’ berebut air Sungai Ciliwung baru dalam mimpi, belum jadi kenyataan. [rif]