Diantaranya karena untuk beberapa hal, apa yang dilakukan oleh Risma berbeda dengan pakem kepemimpinan elit politik selama ini. Perbedaannya dapat dilihat dari pilihan diksi, narasi, intonasi ataupun gestur tubuhnya. Untuk sebagian, apa yang dipertontonkan oleh Risma menjadi daya tarik sendiri bagi sebagian media dan dianggap merupakan konsumsi empuk yang dibidik konsumen media. Sekalipun jika hal semacam ini terus dipertontonkan namun tanpa hasil nyata yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, berpotensi menimbulkan counter productive berupa kebosanan dan kekecawaan publik.
Sedangkan Anies, cenderung mengedepankan kepemimpinan law profile namun lebih ditunjukkan dengan segudang prestasi. Biasanya, prestasi semacam yang diraih oleh Anies, diakui dan dirasakan secara nyata manfaatnya oleh publik namun kurang menarik untuk diliput oleh media, terutama media mainstream. Yang penting dicatat, manakala prestasi Anies terus dikubur-kubur rapat, maka sulit bagi publik memberikan simpati kepada publik. Bahkan bisa saja pada akhirnya melupakan kinerja positif dari Anies.
Ditinjau dari perspektif ilmu komunikasi, selama ini sudah umum diketahui bahwa media mempunyai sejumlah fungsi. Dengan meminjam pandangan McQuail, peran media tersebut bisa menjadi jendela pengalaman yang meluaskan pandangan dan memungkinkan publik mampu memahami apa yang terjadi di sekitarnya tanpa campur tangan pihak lain atau sikap memihak, serta pembawa atau penghantar informasi dan pendapat. Namun media bisa juga menjadi agen yang berfungsi mendistorsi, tirai atau atau penutup yang menutupi kebenaran demi pencapaian tujuan propaganda atau pelarian dari suatu kenyataan (escapism).
Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Dalam situasi semacam ini, tulis Alex Sobur dalam buku “Analisis Teks Media”, media massa tidak mungkin berdiri di tengah-tengah. Media akan bergerak dinamis diantara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. Kenyataan inilah yang menyebabkan bias di media massa adalah sulit dihindari.
Bias media tersebut, dalam teori agenda setting disebut dengan framing atau pembingkaian. Framing merupakan salah satu teori efek media massa yang menitikberatkan pada bagaimana isi media disajikan. Teori agenda setting mirip teori Jarum Suntik (hypodermic needle theory). Teori ini mengasumsikan, media memiliki kekuatan sangat perkasa dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu menahu. Teori ini dikemukakan Wilbur Schramm pada tahun 1950-an. Namun dicabut tahun 1970-an dengan meminta pendukungnya untuk menganggap teori ini tidak ada. Sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif.
Selain kedua teori tersebut, ada yang disebut dengan teori kegunaan dan kepuasan (uses and gratifications). Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz (1974). Teori ini berpendapat, pengguna media memainkan peran aktif untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain, pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi. Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam usaha memenuhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Literasi Media
Di era yang disebut Steve Tesich sebagai Post-Truth dalam artikel berjudul The Goverment of Lies (1992), sulit bagi publik untuk mencegah pemimpin mengaktualisasikan style, metode atau treatment kepemimpinannya. Terlebih lagi manakala didukung oleh suatu regim dan kekuatan modal besar untuk melakukan pencitraan di media dengan dukungan influencer, buzzer, atau endorser. Di era post truth, yang salah bisa benar, yang benar bisa salah, atau keduanya mengalami kekaburan makna.