Bicara AHY 2017, mirip Ganjar Pranowo saat ini. Elektabilitasnya lumayan tinggi, tetapi rentan. Ganjar tidak memiliki pondasi atas elektabilitasnya. Tidak ada kekuatan dalam diri Ganjar yang bisa diiklankan ke publik untuk menaikkan elektabilitasnya. Ganjar butuh support pihak lain, misalnya PDIP atau Pak Jokowi. Tanpa support unsur luar, elektabilitas Ganjar akan stagnan dan tidak berubah. Akan segitu-gitu aja.
Ganjar kartu mati. Hanya hidup jika disupport pihak lain. Kalau PDIP tidak memberi tiket ke Ganjar dengan semua mesin politiknya, atau Pak Jokowi tidak all out dukung Ganjar dengan semua akses kekuasaannya, Ganjar sulit untuk diharapkan.
Seperti AHY 2017, elektabilitasnya langsung tinggi, karena berbasis pada dukungan psikologis dan sosiologis. AHY ganteng, cool dan anak SBY (mantan presiden dua periode). Enak dilihat. Secara psikologis, ini daya tarik. Secara sosiologis, AHY keturunan Jawa dan wakilnya dari Betawi. Pemilih di Jakarta paling panyak dari Jawa, dan jumlah warga Betawi juga cukup besar. Saat pasangan AHY-Silvie diumumkan, elektabilitasnya langsung melejit. Tapi, karena elektabilitas ini diperoleh dari unsur luar, maka menjadi sangat rentan. Terbukti, elektabilitas AHY kemudian merosot.
Beda dengan Ganjar dan AHY, Anies punya kekuatan di dalam dirinya. Anies punya track record, narasi, kemampuan dalam melahirkan gagasan dan solusi yang melampaui umumnya kandidat lain. Anies hanya butuh tiket dan dukungan partai. Kalau syarat ini didapat, Anies akan landing.
Lima alasan di atas cukup untuk mengatakan bahwa Anies paling berpeluang dan potensial menjadi presiden RI 2024-2029. (Luk)
Jakarta, 8 Januari 2022