PIDATO Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dalam sebuah forum yang dihelat pengusaha Chairul Tanjung (CT) tidak sekadar memukau tetapi juga berkelas dan bernilai.
Sejumlah elite politik, konglomerat, pengusaha, menteri, mantan pejabat, aktivis dan ratusan profesional yang hadir terlihat antusias. Beberapa di antaranya manggut-manggut dan memberikan tepuk tangan ketika Anwar Ibrahim memberikan penekanan pada suatu masalah dan solusinya.
Begitu juga ketika menyatakan korupsi sebagai budaya dan sangat akut di kalangan bangsa Melayu dan mayoritas Islam. Semakin banyak slogan justru korupsi malah merajalela. Slogan tak berguna!
Saya membayangkan di antara yang hadir ada yang tersinggung atau mungkin tidak semasekali ketika Anwar Ibrahim mengatakan budaya rasuah sangat parah di Malaysia dan juga Indonesia.
Anwar Ibrahim mengakui korupsi itu sistemik dan sangat susah memberantasnya. Sangat berisiko dan itu juga yang mengantar Anwar Ibrahim harus meringkuk di hotel prodeo hampir 10 tahun.
Kalau mereka seorang koruptor (baik yang belum tertangkap dan sudah tertangkap) saya pastikan mereka merasa tersinggung. Namun, tidak mesti mereka mengubah perilakunya seketika.
Namun, dalam hati saya mengucapkan terimakasih kepada Anwar Ibrahim yang telah begitu telak menyindir para elite negeri ini dan para koruptor. Mungkin kalau yang mengkritik orang luar apalagi sekelas perdana menteri akan berdampak dibandingkan oposisi lokal yang hanya dianggap sebagai ‘noise’.
Saya yakin, Anwar Ibrahim sebenarnya dalam posisi menyindir budaya korupsi dan perilaku jahat elite negeri ini. Namun untuk menyamarkannya maka disandingkan dengan perilaku yang sama di Malaysia.
Kunjungan dua hari Anwar Ibrahim di Indonesia tidak semata soal TKI atau perbatasan tetapi juga soal ekonomi. Tentu Malaysia yang diharapkan menanamkan investasinya di Ibu Kota Negara (IKN) akan berhati-hati. Karena itu soal rasuah menjadi pembicaraan yang sangat penting. Investasi di negara korup sangat berisiko!
Pidato Anwar Ibrahim yang lugas, bernas dan tanpa teks menunjukkan kelas sebagai seorang pemimpin dunia. Sangat berkarakter.
Pidato yang tidak teknis ini saya menganggapnya sebagai pidato kebudayaan daripada pidato politik. Pidato yang penuh referensi dunia. Dari nukilan pemikir ekonomi, politik, budayawan, sastrawan, hingga Alquran dan Hadist.
Saya sangat menikmatinya. Saya belum pernah mendengar elite Indonesia termasuk Presiden Jokowi sekalipun pidato sekelas Anwar Ibrahim yang fasih mengutip puisi sastrawan Amerika Serikat T.S. Elliot, pidato kebudayaan ‘Manusia Indonesia’ jurnalis Mochtar Lubis dan menyinggung puisi ‘Aku Malu Jadi Bangsa Indonesia’ karya sastrawan Taufiq Ismail.
Selama ini pidato elite Indonesia hanya berkutat dan bertabur soal ekonomi dan pertumbuhan yang absurd. Sangat teknis dan penuh angka statistik yang rumit. Tidak mencerahkan boro-boro menginspirasi. Dan, Anwar Ibrahim juga tidak percaya sepenuhnya dengan angka statistik terutama soal angka kemiskinan atau pertumbuhan. Seperti di Indonesia angka itu kerap dipolitisasi.
Anwar Ibrahim juga berbicara sangat jernih dan gamblang tentang riuh-rendahnya demokrasi. Demokrasi menurutnya hanya bagian dari ikhtiar untuk menghadirkan kemakmuran dan keadilan. Demokrasi harus bernilai.
Apakah artinya demokrasi dan menang mayoritas bila dilakukan dengan curang dan dalam kenyataannya tidak menghadirkan serta mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.
Anwar Ibrahim pun tidak antikapital/penanaman modal dan tidak menihilkan keberadaan konglomerat. Namun, ia menekankan negara atau pemerintah tidak boleh tunduk kepada mereka apalagi diatur-atur. Saat mendengar pernyataan ini kembali saya ucapkan terimakasih.