BARISAN.CO – Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dicanangkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menjadi topik hangat yang dibicarakan rakyat Indonesia. TWK ini bertujuan sebagai asesmen dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil Negara (ASN).
Dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pegawai yang tak lolos TWK diminta untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya pada pimpinan masing-masing. Tetapi, proses pelaksanaan TWK ini menimbulkan pro dan kontra dari banyak pihak. Lantaran banyaknya kejanggalan dalam proses hingga materi pertanyaan dalam TWK ini.
Dalam Serial Webinar Musyawarah Indonesia pada hari Kamis (12/08/2021) lalu, yang bertajuk “Meneguhkan Jiwa Bangsa Pada Generasi Digital”, Tata Khoiriyah selaku pegawai KPK menceritakan pengalamannya dalam mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan ini.
Tata merupakan satu dari 75 pegawai KPK yang masuk ke golongan tidak memenuhi syarat sebagai pegawai KPK. Mereka yang tergolong tidak memenuhi syarat ini diharuskan memaknai apa arti kebangsaan sebenarnya. TWK pada KPK ternyata sangat berbeda dengan TWK yang dilaksankan pada tes CPNS lain.
TWK yang Tata ikuti menggunakan metode indeks moderasi bernegara yang biasa digunakan oleh TNI Angkatan Darat. Tes ini terbilang cukup langka digunakan oleh instansi lain selain KPK. Indikator TWK berdasarkan UUD 1945, Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan Pemerintahan yang sah.
Namun menurut Tata, penafsiran dari indikator tersebut diterjemahkan menjadi pertanyaan yang sangat sempit. Misalnya, ada beberapa soal yang mempertanyakan “apakah semua Cina itu sama?” dan “Kebijakan apa dari pemerintah yang tidak anda setujui?” Bahkan ada pertanyaan mengenai orientasi seksual yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam TWK ini. Tentu timbul tanda tanya bagi Tata dan rekannya mengenai relevansi pertanyaan tersebut dengan konsep dari Pancasila dan NKRI.
Tata melanjutkan dalam memaknai arti kebangsaan bukan merupakan hal yang stagnan nilainya, tetapi ada proses yang terus menerus. Nilai kebangsaan Indonesia bisa dibilang proses pencari yang berketidaksudahan dan harus dialami setiap Warga Negara Indonesia.
“Pencarian nilai kebangsaan ini tidak memutuskan dengan ikatan masa lalu sebagai warga negara. Kita memiliki banyak ikatan sejarah dengan peristiwa lampau pada sejarah Indonesia,” ujarnya.
Dari setiap peristiwa tersebut memiliki pemaknaan yang berbeda, tentu akan ada beragam pandangan dari generasi milenial yang membaca sejarah melalui beragam sumber, baik di internet maupun buku-buku sejarah.
Ketika keberagaman pandangan ini tidak diterima oleh lembaga negara, akan timbul pertanyaan mengenai ideologi seperti apa yang diterima oleh lembaga negara di Indonesia?
Tata pun menceritakan kembali mengenai salah satu pernyataan yang diterima olehnya ketika mengikuti TWK. Tata ditanya mengenai “Bagaimana pandangan kamu terhadap keturunan 65 yang menduduki jabatan publik yang strategis?”
“Sepanjang mempunyai komitmen terhadap Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Pemerintahan yang sah, kenapa tidak diberi kesempatan?” jawab Tata kepada pihak yang mewawancarai Tata.
Jawaban tersebut tidak diterima oleh asesor yang menilai pegawai KPK. Hal ini menyebabkan Tata berpikir kalau yang bisa diterima sebagai pegawai KPK adalah yang memiliki ideologi sepaham dengan pemerintah yang berkuasa.
“Hal ini sangat berbahaya, karena orang-orang yang berbeda pandangan dan mempunyai pandangan kritis akhirnya tidak punya ruang yang cukup leluasa ketika masuk di lembaga pemerintahan,” Jelas Tata.