BARISAN.CO – Gagasan nasionalisme hampir selalu bermakna rasa cinta dan kesetiaan terhadap bangsa sendiri. Banyak dari kita sepenuhnya meyakini itu, sampai tidak sempat menanyakan hal yang aneh-aneh lagi. Misalnya, bolehkah kita menyebut diri nasionalis, kalau menuliskan Bahasa Indonesia menggunakan aksara latin? Apakah kita punya aksara nasional?
Mari kita melirik tetangga. Saat ini banyak teman-teman Asia kita menuliskan bahasa nasionalnya dengan aksara mereka masing-masing. Jepang, sebagai contoh, bahkan menunjukan nasionalismenya lewat 3 jenis aksara: Hiragana, Katakana, dan Kanji. Mungkin sejauh ini, bisa dikata Indonesia ‘kurang nasional’ ditinjau dari segi aksara.
Secara menarik, sebagai bangsa berpenduduk mayoritas Islam, kita satu-satunya negara muslim yang tidak menulis bahasa nasionalnya dengan aksara arab. Ada dua pengecualian kuat: Turki karena sekularisasi Mustafa Kemal Atatürk. Dan Bangladesh yang bertahan menggunakan aksara bengali untuk menunjukkan nasionalismenya.
Padahal sebelum Indonesia merdeka, cukup umum aksara arab digunakan. Karya tulis mulai dari Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-Raja Pasai, Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri, karya Kiai Rifai Kalisasak, dan lain-lain termasuk karya Kiai Soleh Darat, semuanya menggunakan aksara arab. Tapi seiring dominasi penjajahan menjadi lebih kokoh, aksara arab lambat laun tersingkir dan catatan-catatan dibuat hampir sepenuhnya dalam aksara dan angka latin.
Sebelum masyarakat mengorganisasi diri dalam jejaring massal menggunakan aksara arab, banyak juga aksara di nusantara. Yang paling tua dan terkenal tentu saja aksara pallawa. Sejauh bukti, aksara pallawa tertua ditemukan di Kalimantan bagian timur dari abad ke-4, dalam Prasasti Yupa yang dikeluarkan Kerajaan Kutai.
Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno. Seperti digunakan pada prasasti Mataram Kuno, Kadiri (abad ke-12), Singhasari, hingga Majapahit.
Upaya Membangun Aksara Nasional
Praktis nasionalisme kita sekarang ini lumayan unik. Ibaratnya, kita punya Bahasa Indonesia sebagai roh, tapi tidak punya ‘Aksara Indonesia’ sebagai jasad. Ada kalangan yang meratapi, tapi lebih banyak yang mengabaikan kenyataan unik ini.
Achmad Narod termasuk yang meratapi. Ia orang pertama yang menggagas tentang aksara nasional pada tahun 1959. Bagi Achmad Narod, ketiadaan aksara nasional merupakan kekurangan terbesar bangsa Indonesia.
Achmad Narod menyebut, tanpa aksara, sebuah bahasa tak lebih dari sekadar dialek. Dengan sendirinya bisa diartikan, bahwa Bahasa Indonesia dalam pandangan Achmad Narod belum cukup disebut sebagai bahasa. Melainkan varian dari dialek melayu, sebagaimana dialek Melayu Riau, Melayu Malaysia, atau Melayu Tanah Genting Thailand.
Itulah lantas yang membuat Acmad Narod cukup pretensius menggagas aksara nasional. Sayangnya, tak ada lagi yang melanjutkan gagasan-gagasannya. Sekarang orang lebih memedulikan soal pelestarian aksara daerah, daripada menggagas aksara nasional. Yang jelas, butuh upaya keras bila ada yang hendak merealisasikan ide itu.
Tapi seberapa mendesak kita butuh aksara nasional, sementara belakangan, orang lebih tertarik mempelajari aksara baru yaitu aksara biner komputer?
Bagi banyak orang, aksara biner komputer memang dirasa lebih menarik. Hanya dengan dua sistem tanda (0 dan 1) ia dapat menerjemahkan banyak ide manusia. Bahkan, catatan yang sedang Anda baca ini diketik lewat wahana microsoft word, hasil kombinasi dari sekian angka 0 dan 1.
Mungkin memang kita tidak perlu ambil pusing, dan menerima saja kenyataan Bahasa Indonesia cukup ditulis dalam aksara latin. []