Scroll untuk baca artikel
Kolom

Arthur Rimbaud, Penyair Remaja, dan Sambo

Redaksi
×

Arthur Rimbaud, Penyair Remaja, dan Sambo

Sebarkan artikel ini

PERPUSDA kota Tegal menerbitkan dua kumpulan puisi bersama. Dari siswa SLTA, dan yang mengejutkan dari siswa SLTP. Saya diminta memberikan pengantar.

Segera saya mencari data, penyair nasional/dunia yang mulai menulis sejak usia SLTP. Ternyata langka. Hingga saya bertemu satu nama, Arthur Rimbaud, lahir 1854. Seorang penyair dunia asal Prancis, yang mengawali kepenyairannya di usia empatbelas.

Lebih mengejutkan dia banyak menulis puisi di Indonesia, khususnya di Semarang. Di usia duapuluh dia mendaftar KNIL, diterima, mendarat di Jakarta pada 1876. Kemudian bertugas di Semarang, dan di Tuntang terkena penyakit menular.

Hingga ia desertir kala Perang Aceh. Satu puisinya yang ditulis di Semarang bertitel “Kami Telah Memulainya Lagi”:

Jangan pernah berharap | tidak ada timur|sain dan kesabaran | Penyiksaan aman. || Tidak ada hari esok | bara batin | semangatmu | itu adalah tugas. || Kami telah menemukannya |lagi! |-Apa? — Eternity | Itu adalah laut campuran | dengan matahari.

Dan inilah contoh puisi dari peserta buku puisi siswa SLTP Tegal. Karya Tyara Eka Ariliasyaira, berjudul “Otak Krisis”:

Untuk apa kata-kata puitis?|Jik cuma merayu gadis|Dasar otak krisis!||Untuk apa nilai tinggi|Jika tengok sana lirik sini|Ujian bukan sekadar materi!||Untuk apa pinter berlari?|Jika untuk mencuri|Prestasi jujur diri!||Perpustakaan selalu ada|Segala pintunya terbuka|Buku-buku menebar rindu|Tapi miris|Dianggap sekadar pajangan|Dasar otak krisis!

Satu puisi yang hampir senada dengan sajak Arthur Rimbaud. Jika Arthur punya perhatian terhadap perang dan penyiksaan, Eka punya perhatian terhadap lingkungan sekolahnya. Rimbaud bicara tentang eternity, dan Tyara bicara soal perpustakaan.

Keduanya bertema sosial lingkungan, dan menulis tidak hanya mengintai keindahan kata, tapi menulis perhatian personaenya dengan pikiran.

Saya membayangkan andai Eka terus menulis puisi di SLTA, di perguruan tinggi, lalu saat dia terjun di tengah masyarakat. Betapa dia punya perhatian besar terhadap masyarakat, bangsa dan negaranya.

Saya bayangkan andai polisi menulis puisi sejak pendidikan, hingga sebagai pelayan masyarakat, tentu tidak akan terjadi kasus Sambo.

Entah apakah di pendidikan kepolisian juga ada pelajaran seni dan sastra yang mendidik kehalusan budi pekerti dan berpikir sehat. Tidak cuma belajar menembak!***