Korupsi yang merajalela di Indonesia telah merusak tatanan sosial, ekonomi, dan moral bangsa, sehingga perlu adanya peran aktif masyarakat dalam mencegah dan memberantasnya melalui pendekatan preventif, detektif, dan advokasi
Oleh : Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)
KOMISI Pemberantasa Korupsi (KPK) menetapkan Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus suap Harun Masiku. KPK mengungkap Hasto sempat meminta Riezky Aprilia mundur dari DPR dan digantikan oleh Harun Masiku (HM).
KPK menjelaskan, pada Pileg DPR RI tahun 2019 di daerah pemilihan Sumatera Selatan (Sumsel), suara terbanyak dari PDIP adalah Nazarudin Kiemas. Namun, karena Nazarudin meninggal, penggantinya adalah Riezky, yang mendapat suara terbanyak kedua.
KPK menyebut ada upaya dari Hasto untuk mengganti Riezky dengan Harun Masiku. Hasto mengutus Saeful Bahri ke Singapura untuk menemui Riezky agar mau diganti oleh Harun Masiku.
Selain itu, Hasto pun menahan surat undangan pelantikan anggota DPR RI periode 2019-2024 kepada Riezky Aprilia. Hasto meminta Riezky mau diganti setelah pelantikan.
Kabar itu, tentu saja bikin kita was-was, sebab skandal korupsi di negeri ini seolah akar mimang yang membelenggu dari rezim ke rezim, dan harus diakui bahwa korupsi telah menjadi gejala sosial yang bersifat kompleks.
Ia tidak hanya berkaitan dengan persoalan perundangan, akauntabilitas atau kebertanggungjawaban, melainkan juga menjamah dalam persoalan sosio-politik dan kebudayaan.
Sebabnya, karena korupsi terkait dengan dorongan mentalitas dalam berbagai hasrat maupun dalam bentuk kelakukan individu dan juga dalam hasrat bersama-sama.
Kelak sejarah akan mencatat bahwa Indonesia pernah mengalami masa kelam nan hitam legam sebab korupsi, dimana kesepaktan hidup bersama dikhianati oleh para elit pemangku kekuasaan dan para penyelenggara pemerintahan.
Sebab itu, skandal korupsi di negeri ini tidak saja merusak tatanan ekonomi, tapi juga secara holisitik menghancurkan sistem hidup yang disepakati bersama, karena ia bertentangan dengan prinsip etika-moralitas, keadilan dan akauntabilitas.
Akibatnya dalam skala yang lebih luas, korupsi mampu melahirkan kemiskinan terstruktur, konflik, diskriminasi dan kesenjangan ekonomi.
Jadi tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa bangsa ini telah kehilangan kompas moral, karena itu tak nampak ketandasan memberantasnya. Akhirnya gejala ini menimbulkan hambatan ideologis dengan segala komponennya.
Mencermati sejarah panjang korupsi era pasca reformasi, sudah selayaknya kejahatan ini masuk dalam katagori extraordinary crime, karena daya rusaknya telah mengganggu perekonomian nasional, meningkat kemiskinan dan ketimpangan sosial, merusak mental dan budaya bangsa, mendistorsi hukum, dan mempengaruhi kualitas layanan publik.
Sebab itu tak perlu heran bila bangsa ini sulit untuk sejahtera/ maju , kehidupan sosial dan pelayanan publiknya selalu babak belur.
Melihat korupsi yang masif dan daya rusaknya, maka sudah selayaknya seluruh komponen bangsa untuk memerangi korupsi dan mencegahnya supaya tidak membudaya di Indonesia. Artinya korupsi tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar.
Perilaku korupsi bisa saja dianggap perbuatan yang wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak membangun sikap anti korupsi.
Oleh sebab itu pencegahan dan pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.
Peran masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.
Strategi preventif, masyarakat berperan aktif mencegah terjadinya perilaku koruptif, misalnya dengan tegas menolak permintaan pungutan liar dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan aturan.
Strategi detektif, masyarakat diharapkan aktif melakukan pengawasan sehingga dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini mungkin.