Scroll untuk baca artikel
Kolom

Bang Bursah yang Membawa Saya Masuk HMI

Redaksi
×

Bang Bursah yang Membawa Saya Masuk HMI

Sebarkan artikel ini
bang bursah

Di balik setiap aktivis besar, selalu ada sosok mentor yang membuka jalan. Bagi saya, Bang Bursah Zarnubi adalah orang itu

Oleh: Marlin Dinamikanto

PERTAMA kali mengenal Bang Bursah Zarnubi lewat mendiang Om Jopie Lasut. Kala itu Om Jopie yang tinggal di Jl. Bank No 2 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, merekrut saya menjadi semacam stringer untuk Radio Nederland.

Dari sana saya yang mulai tidak aktif lagi kuliah di kampus saya yang kedua, IISIP Jakarta, mulai melibatkan diri secara individual dalam perlawanan versus rezim despotik Soeharto.

Dari sana saya terbitkan sendiri media perlawanan WARTA AKSI. Semua naskah diketik di rumah Jay di Kompleks Setneg Cidodol.

Jay yang pada akhirnya menjadi Ketua Pijar saya kenal di rumah orang tua Ferry Juliantono (sekarang wakil menteri koperasi) di Jl. Mampang Prapatan IX. Beberapa nama seperti Sinyo Kertanegara saya catut dan protes.

Namun WARTA AKSI yang sempat terbit sekitar 4 edisi membawa saya yang tadinya berlawan secara individual berkenalan dengan sejumlah tokoh gerakan perlawanan seperti Agustina (Garut), Nurdin Ranggabarani (Mataram NTB), (Alm) Amir Husin Daulay.

Juga (Alm) Agus Eddy Santoso alias Agus Lenon, Dhea Prakesha Yudha yang baru dipensiunkan secara dini dari Kompas dan tentu saja Bang Bursah Zarnubi saat saya diajak Om Jopie bertemu di sebuah pub Hotel Century

Selanjutnya saya kembali bertemu Bang Bursah saat sama-sama menghadiri persidangan 21 mahasiswa Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI) yang ditangkap di kompleks MPR/DPR-RI usai membentangkan spanduk bertuliskan “Seret Presiden Soeharto ke Sidang Istimewa MPR”, pada 14 Desember 1993.

Saat pulang dari persidangan, Bang Bursah menawari saya pulang bareng menumpang mobil Fiat berwarna coklat miliknya.

Saya turun di seberang Ratu Plaza. Sebelum turun Bang Bursah sempat menulis alamat rumah sekaligus nomer telepon di selembar kertas.

“Kapan-kapan main ya?” ajaknya tidak lupa memberikan bekal, saya ingat, Rp 15 ribu. Saya pun turun dari mobil Fiat legendarisnya.

Selang beberapa hari saya main ke rumahnya, Jl. Poncol No 17 Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Ternyata tempat tinggal yang belakangan saya tahu tokoh HMI yang pernah dipenjara karena protes kenaikan SPP di kampusnya, Universitas Jayabaya, sekaligus berfungsi sebagai sekretariat Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika) yang dia dirikan bersama-sama tokoh-tokoh mahasiswa dari Kelompok Cipayung.

Sejak itu saya sering datang ke Humanika, kadang menginap berhari-hari di kamar Bulet, adik kandung Bang Bursah.

Satu-satunya yang rajin berkantor di Humanika adalah Hadi Priyono yang tercatat pernah aktif di HMI Cabang Medan. Hadi Priyono lah yang menjalankan fungsi-fungsi administratif.

Kala itu Humanika sering menyelenggarakan diskusi-diskusi berbobot yang dihadiri oleh sejumlah kalangan. Hadi Priyono lah yang membuat TOR diskusi sekaligus mengetik surat undangan ke sejumlah narasumber.

Setiap Humanika menyelenggarakan diskusi atau kadang seminar di Gedung-Gedung yang tidak pula mahal biayanya selalu penuh dihadiri oleh ratusan aktivis dari berbagai entitas ideologi dan latar belakang.

Dari sana pula saya “kecipratan rejeki” mengenal jaringan aktivis baik Cipayung maupun non-Cipayung secara lebih luas.

Kala itu selain aktif di jurnalistik perlawanan saya juga mulai aktif melibatkan diri dalam aksi-aksi advokasi pertanahan, perburuhan, penangkapan mahasiswa maupun isu-isu elit tentang demokrasi, HAM dan lingkungan hidup

Dalam aksi-aksi itu, Bang Bursah memberikan dukungan yang tidak ternilai harganya. Antara lain dengan memberikan nomor-nomor telepon penting saat menghadapi kesulitan keuangan.

“Masuk HMI Lin. Kalau kau punya KTA HMI bisa lebih bergerak leluasa saja,” saran Bang Bursah. Saya pun menurutinya.