TULISAN tentang pendidikan anak berikut hanya sekadar berbagi cerita dari pengalaman hidup saya. Terutama masa ketika empat anak saya masih bayi, kecil, dan bersekolah. Kini, tiga di antara mereka sudah bekerja dan hanya seorang yang masih kuliah.
Saya dan suami tidak berlatar ilmu pendidikan. Begitu pula dengan pekerjaan kami dahulu. Kami berdua memiliki usaha kecil-kecilan. Sempat memiliki toko kelontong, kemudian berganti menjadi toko bahan bangunan.
Hal-hal yang ditulis ini sebenarnya sudah sering saya ceritakan dalam perbincangan sehari-hari dan kadang sebagai pembicara dalam suatu forum diskusi. Itu terjadi bertahun-tahun lalu, terutama ketika empat anak kami terbilang berprestasi dalam bidang olimpiade sains tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Mereka sempat mengikuti dan memperoleh medali olimpiade sains nasional hingga internasional. Ada yang dalam bidang matematika, bidang kimia, biologi, serta astronomi. Seorang guru yang biasa membimbing murid peserta olimpiade sempat mencatat bahwa selama kurun tahun 2006-2017, selalu ada satu atau dua putra kami menjadi finalis olimpiade sains nasional.
Saat itu, olimpiade sains sering menjadi bahan pembicaraan para guru dan orang tua murid. Kadang secara agak berlebihan menjadi bagian dari reputasi atau “gengsi” sekolah, guru dan orang tua.
Akibatnya, saya banyak ditanya oleh mereka. Tentang bagaimana anak-anak belajar. Tentang menu makanan. Apakah mereka ikut les atau pelajaran tambahan. Hingga berbagai soalan teknis dalam bersikap, mengasuh, dan mendidik mereka.
Biasanya saya jawab seperlunya saja. Baik karena kesempatan dan waktu yang terbatas, maupun tak ingin menjadi rujukan baku oleh mereka. Sejak awal, saya dan suami berpandangan prestasi pada bidang pelajaran semacam itu tidak boleh dibesar-besarkan. Anak-anak harus diberi kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri dalam bidang yang dipilih dan disukainya.
Oleh karenanya, cerita saya hanya menggambarkan salah satu pilihan model pendidikan yang dapat diambil oleh satu keluarga. Tersedia cukup banyak “model pendidikan” keluarga. Ada kelebihan dan kelemahan pada tiap pilihan.
Pilihan model disesuaikan dengan kondisi masing-masing, seperti: kebiasaan, latar pendidikan dan pekerjaan orang tua, lingkungan kultural keluarga besar, dan lain-lain.
Kata “pintar” merupakan istilah paling sentral dalam perbincangan sehari-hari tentang pendidikan anak. Sebagian besar pertanyaan tentang anak-anak saya pun berasal dari penilaian bahwa mereka merupakan anak pintar.
Sayangnya, pengertian pintar kadang menjadi kurang jelas atau tersamarkan dalam perbincangan. Biasanya menjadi lebih sempit dari makna sesungguhnya yang terkandung pada kata tersebut.
Kata pintar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring dijelaskan dalam tiga arti. Pertama diartikan sebagai pandai atau cakap. Contoh kalimatnya: ia termasuk anak yang pandai (cakap) di kelasnya.
Kedua diartikan sebagai cerdik, banyak akal. Contoh kalimatnya: rupanya pencuri itu lebih cerdik (banyak akal) daripada polisi.
Ketiga, mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu). Contohnya: mereka sudah mahir membuat baju sendiri.
Penggunaan kata anak pintar pada umumnya dipakai terkait nilai pelajaran sekolah, keberhasilan memenangkan lomba sains, dan karya ilmiah. Sebenarnya sangat tepat pula jika dipakai dalam prestasi di bidang seni, bidang olahraga, dan pengembangan diri anak di bidang lainnya.
Adli, anak kedua kami, pernah diwawancarai Koran Kompas untuk kolom anak-anak tentang anak pintar. Adli ketika itu masih kelas lima Sekolah Dasar, dan baru memperoleh medali perak olimpiade nasional tingkat SD bidang matematika. Menurutnya, anak pintar adalah yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.