Kebijakan tersebut pun sudah berjalan hampir 19 tahun di mana pelaku usaha menjalankan aturan tersebut tersebut dengan konsisten.
“Wacana cuti hamil selama enam bulan dan cuti suami 40 hari harus mempertimbangkan dari berbagai aspek mulai tingkat produktivitas, kemampuan pelaku usaha, dan dampak terhadap pelaku UMKM. Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus enam bulan atau cukup empat bulan misalnya, kemudian apakah cuti suami 40 hari juga menjadi keharusan,” katanya.
Sarman berujar bahwa psikologi pengusaha juga harus dijaga karena merekalah yang akan menjalankan kebijakan tersebut. Cuti dengan durasi panjang seperti itu dikhawatirkan akan mengganggu kinerja dan produktivitas karyawan tersebut di perusahaannya.
“Jangan sampai nanti pengusaha menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak karena harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil,” katanya.
Di sisi lain, berdasarkan data Kementerian koperasi dan UKM tahun 2019, tercatat jumlah tenaga kerja UKM sebanyak 119,6 juta orang setara dengan 96,92 persen total tenaga kerja Indonesia, dan sisanya 3,08 persen berasal dari usaha besar.
“Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara satu hingga empat orang, bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi finansial UMKM tersebut memiliki kemampuan?” tanyanya.
Oleh karena itu, Sarman meminta pemerintah dan DPR mempertimbangkan rencana tersebut agar bisa diterima semua kalangan pelaku usaha. Sarman pun berharap pembahasan RUU KIA agar melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif.
“Dari sisi kesehatan tentu usulan kebijakan ini kita dukung, namun dampaknya harus dipikirkan dan bagaimana menyiasatinya,” pungkasnya. [rif]