Scroll untuk baca artikel
Blog

Awal Mula Jull Takaliuang Putuskan Menjadi Aktivis Penolak Tambang

Redaksi
×

Awal Mula Jull Takaliuang Putuskan Menjadi Aktivis Penolak Tambang

Sebarkan artikel ini

Dari situlah, Jull merasa kepikiran. Dia bertanya-tanya, “Siapa yang akan menolong rakyat”, “Siapa yang akan lantang mengatakan jangan diambil hak hidup kami?” Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian membuat keputusannya bulat untuk berjuang.

“Bukan hanya orang yang hanya ada saat pendampingan, namun juga memenangan mereka. Jujur saja, waktu di Buyat itu, saya merasa buntu untuk mendapatkan bantuan,” tambahnya.

Beruntung masih ada orang baik di pemerintahan saat itu. Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid membantunya untuk dapat mengakses ambulans hingga mengirimkan Makanan Pendamping ASI (MPASI) ke puskesmas di sana.

Petinggi-petinggi di semua sektor termasuk sektor kesehatan, menurut Jull, dokter-dokternya banyak yang menjadi konsultan perusahaan hingga tingkat Puskesmas digaji belasan juta sebulan dan diberi fasilitas tambahan.

“Secara otomatis, menjadi lawan kita karena mereka akan terus-menerus menghadang. Saya kan tidak punya latar belakang pendidikan di bidang kesehatan, ditanya, ‘Jull, kamu tahu apa? Tidak tahu apa-apa, jangan bikin sensasi,’” terang Jull.

Jull mengisahkan, ada anak saat dibawa ke rumah sakit justru dikejar dan dicaci maki.

“Dikejar oleh kepala desa sampai pelosok-pelosok, misalnya. Saya bawa dokter ada nenek-nenek yang sudah tidak bisa gerak, badannya kaku, gatal, ga bisa ngapa-ngapain lagi, tapi tidak boleh sama kepala desa,” lanjut Jull.

Hal-hal seperti itu, Jull pandang sebagai kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh negara dari tingkat paling tinggi hingga paling bawah.

“Itu semua karena ada uang dan mereka melihat sektor pertambangan adalah sektor yang bisa mendatangkan uang bagi orang-orang tertentu. Tetapi, dampaknya kemudian di Buyat, saya harus menangani seorang yang bekerja di bagian scrubber di perusahaan itu yang mengalami jantung koroner sampai dibawa ke RS Jantung Harapan Kita Jakarta,” katanya.

Jull dan rekan-rekannya membantu mencari donasi karena biayanya sangat mahal.

“Perusahaan tahu, dia sakit dan harus operasi, kemudian dikasih pesangon. Tapi, ternyata keluarganya alami gangguan kesehatan yang lain, istrinya kena kanker,” imbuhnya.

Uang pesangon itu tidak cukup, barang berharga pun dijual semua, kata Jull.

“Berarti hanya penderitaan yang ditinggalkan, di mana berton-ton limbah yang ada di laut, lalu menyebabkan karang bleaching, ikan-ikan benjol, daratan juga misalnya aliran arsenik yang tinggi sampai ke tempat air minum masyarakat, mulai dari sungai hingga sumur. Jadi, saya melihat, untungnya apa ya? Royaltinya kalau pun ke negara itu kemana dan berapa besar sih?,” pungkas Jull.