Aku ikut membantu evakuasi, dan kemudian ikut mengatur pencarian dan pembagian minuman dan membeli makanan seadanya agar para peserta yang tersisa tak kelaparan di atas bukit.
Pada pertengahan 1988, aku menjadi ketua panitia kongres nasional HMI (MPO) 1988 di Wonosari. Kejadian ini memaksaku harus menyembunyikan diri dua pekan di Kalimantan. Aparat keamanan berang karena sejak awal telah berusaha menggagalkannya.
Dengan kerja sama yang solid dari sebelas panitia, kami berhasil mengecoh mereka, dan membawa sekitar 100-an orang berkongres selama sepekan. Lokasi di dusun yang kala itu belum memiliki penerangan listrik.
Peristiwa ini mencatatkan utang budi HMI yang luar biasa besar pada pak Solikin (almarhum) kepala dusun beserta warganya. Acara berlangsung lancar, pertanggungjawaban Egie Sudjana diterima, dan Tamsil Linrung terpilih sebagai ketua baru.
Namun, setelah Egie jumpa pers tentang hasil kongres, maka pengejaran dan upaya penahanan pun dilakukan aparat.
Pak Solikin dan warga dusun dipaksa apel seharian di lapangan, dan semua diinterogasi. Khusus pak Solikin, selama 3 bulan wajib lapor tiap hari kerja.
Di dusun, ada aparat yang berjaga hingga sebulan. Sementara itu, anggota tim panitia ku minta balik kampung dulu, dan aku lari ke Kalimantan.
Pada pertengahan tahun 1989 aku diamanahi menjadi Ketua Umum Cabang Yogyakarta. Tugas pertamanya adalah mencari sekretariat dan membayar sisa utang kepengurusan sebelumnya.
Padahal banyak orang (alumni) masih takut terdaftar menyumbang HMI yang dianggap menentang Soeharto. Akibatnya, hampir semua kegiatan dilakukan dengan swadaya dengan berbagai cara kreatif versi zaman itu.
Sebagian besar kegiatan diupayakan di kampus dan tempat tertentu yang aman. Khusus pelatihan harus dilakukan sembunyi-sembunyi dan disamarkan dengan berbagai nama kegiatan.
Anehnya, jumlah kegiatan meningkat pesat, dan terjadi lonjakan penerimaan anggota. Seingatku, periode kepengurusanku mencatatkan penerimaan anggota terbanyak sejak tahun 1980 hingga kini.
Selama kurun 1989-1992 menjadi pengader nasional yang keliling berbagai wilayah tanpa kepastian kepulangan, karena keamanan ataupun keterbatasan dana.
Pernah tertahan lebih dari sebulan di Makassar. Pernah masuk UGD karena kelelahan, mengisi acara di Semarang, Purwokerto dan Jogja tanpa henti selama beberapa hari.
Kenangan paling indah adalah memperoleh jodoh Ety, yang juga aktivis HMI. Pernah menjabat ketua KOHATI komisariat FE UGM dan Cabang Jogja.
Singkat cerita, Aku amat beruntung pernah dibesarkan oleh dinamika HMI (MPO) dalam suasana perlawanan dan “penderitaan”.