BARISAN.CO – Perang dagang dunia pernah memanas pada 2018 lalu. Waktu itu, Amerika Serikat (AS) yang berada di bawah kepemimpinan Donald Trump menerapkan sejumlah kebijakan proteksionisme terhadap produk-produk asal China.
Saat itu, Trump menilai defisit perdagangan antara AS dan China sudah terlampau tinggi, sehingga ia pun khawatir dan berinisiatif dengan segera mengambil langkah kebijakan proteksionisme tersebut.
Tak hanya itu, ia bahkan juga menuding Negeri Tirai Bambu itu telah melakukan pelanggaran terhadap sejumlah hak kekayaan intelektual dari produk-produk AS.
Kemudian, tak berselang lama, China pun segera merespon. China yang tidak tinggal diam melancarkan serangkaian aksi balasan, yakni dengan melakukan pemberlakuan tarif impor yang tinggi terhadap sejumlah komoditas dan produk pangan dari Negeri Paman Sam itu.
Akhirnya, memanasnya perseteruan kedua negara raksasa ekonomi dunia itu pun berimbas kepada kestabilan perekonomian global. Dimana dalam beberapa tahun terakhir perekonomian global mengalami tekanan.
Situasi itu pun memaksa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk memutar otak agar mampu meredam perang tarif antara kedua negara itu. Pasalnya, akibat dari perang tarif itu telah mengakibatkan rantai pasok dan perdagangan dunia menjadi terganggu.
Kebijakan Baru AS
Tampuk kekuasaan presiden AS telah berganti. Di bawah Joe Biden, AS kini tidak seagresif seperti sebelumnya dalam menerapkan kebijakan proteksionisme. Sekarang, AS tidak galak lagi dengan pengenaan tarif terhadap produk China, melainkan lebih memilih untuk memberikan subsidi kepada industri dalam negerinya.
Kebijakan pemberian subsidi itu ternyata adalah strategi yang dulu diterapkan oleh China semasa mendorong industri utamanya selama abad 21. Konon, sampai sekarang, China disinyalir secara diam-diam masih menerapkan kebijakan tersebut ke beberapa sektor industri berbasis ekspor.
Maka dari itu, Analis dari Bloomberg, Bryce Baschuk menilai dinamika tersebut sebagai babak baru perang dagang dunia. Pasalnya, hal itu menurutnya bakal menimbulkan efek domino kepada negara-negara lain untuk berlomba-lomba memberikan subsidi kepada industri dalam negerinya.
Bahkan, santer dikabarkan, selain AS dan China, negara-negara Eropa bersiap-siap untuk memberlakukan kebijakan yang serupa demi menyelamatkan industri lokalnya.
Dampak Global
Bryce pun memprediksi, “dimana pemenang (perang dagang) adalah pemerintah negara dengan kantong terdalam,” tulisnya, dilansir dari Bloomberg (3/1/2023). “Dan, yang kalah adalah ekonomi di negara berkembang yang selama ini menderita karena beban utang yang kian membesar,” lanjutnya.
Tak dapat dipungkiri memang, tren adu pemberian subsidi kepada industri lokal di negara maju tersebut berpotensi menyebabkan arus perdagangan global menjadi tersendat lagi. Babak baru perang dagang dunia tersebut dikhawatirkan akan semakin memperburuk prospek arus perdagangan dunia pada 2023.
Berkaca pada laporan dari Oxford Economics di penghujung 2022 lalu, diperkirakan bahwa arus perdagangan barang dunia bakal mengalami penurunan sebesar 0,2 persen secara year on year pada 2023. Kepala Ekonom Oxford Economics, Adam Slater mengamati adanya gejala kontraksi pada perdagangan global pada penghujung 2022 lalu. [rif]