Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Baca Asad, Kangen Muhammad Zuhri

Redaksi
×

Baca Asad, Kangen Muhammad Zuhri

Sebarkan artikel ini

Ketika berkesempatan ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri, saya memutuskan masuk Universitas Diponegoro, Fakultas Sastra. Saya pilih fakultas dan jurusan yang sedikit peminat, sehingga kemungkinan diterima terbuka lebar. Karena toh bukan fakultasnya yang saya utamakan, melainkan asal kampus negeri, karena terkait biaya. Lagian saya berminat kuliah karena pengin aktif di HMI, tidak lain. Organisasi kemahasiswaan Islam cukup keren sekaligus menantang pada saat itu. Dan, syukur alhamdulillah diterima.

Seperti halnya saat sekolah di menengah atas, terlebih usai baca ide Ivan Illich, Bebas dari Sekolah, saya menjalani hari-hari kuliah lebih banyak di luar gedung kampus. Kemudian, setelah lulus Basic Training HMI,saya mulai berkarib dengan pemikiran Nurcholish Madjid. Saya baca Islam Agama Peradaban, dan Pintu-Pintu Menuju Tuhan.

Mengakrabi gagasan Cak Nur, panggilan familiar Nurcholish Madjid, saya merasakan kosmopolitanisme Islam. Islam yang universal, yang inklusif, dan penuh toleran. Saya merasa marem Cak Nur menjelaskan makna firman Ilahi surah Ali Imran ayat 19, Innaddina ‘inda llahi ‘l-islam, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam”, menjadi “Sesungguhnya kepatuhan bagi Allah ialah sikap pasrah (kepada-Nya)”.

Dan, Cak Nur konsisten memaknai Islam sebagai ajaran dan cita-cita, yang intinya adalah sikap hidup yang berserah diri kepada Tuhan. Baginya kemenangan Islam adalah kebahagiaan bagi setiap orang, bagi siapa saja yang memenangkan Tuhan menancap dalam kesadaran. Jadi, Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. merupakan kelanjutan ajaran kepatuhan kepada Tuhan yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Ajaran yang mereka bawa sama, yaitu agama pasrah kepada-Nya, hanya syariatnya yang berbeda. Kemudian, saya kian puas hati setelah meneliti sebagian isi Islam Doktrin dan Peradaban, yang saya tangkap sebagai magnum opus Cak Nur.

Seiring dengan Cak Nur, saya juga mengikuti pemikiran Kuntowijoyo, terutama gagasan objektivikasi. Saya ikuti Ensiklopedi Al-Quran milik Dawam Rahardjo. Juga Islam Pluralis karya Budhy Munawar Rachman. Serta Kang Thowil dan Siti Marginal Moeslim Abdurrahman. Keempat tokoh yang saya pahami mengarah kepada gagasan besar Cak Nur, dengan moda ungkapnya masing-masing.

Tahun berikutnya, saya berjumpa langsung dengan Muhammad Zuhri, seorang guru sufi, tinggal di salah satu desa di pinggir kota Pati. Saya sendirian tiba di beranda rumah Pak Muh, sapaan akrab Muhammad Zuhri, yang tak begitu besar tapi sungguh asri. Saya langsung berasa adem, menyimak uraian-uraian hikmah yang menyejukkan. Begitu dalam, dan bersastra tinggi.