Semenjak itu saya mengikuti pengajian bulanan Pak Muh di musala depan rumahnya, meskipun tak sepenuhnya rutin. Dan, usai pengajian biasanya Pak Muh langsung dikelilingi oleh sebagian jamaah—terutama para muda—yang ingin memperdalam wawasan tasawuf. Bak guru dan murid, mereka mendiskusikan hal-hal terkait hubungan manusia dengan Tuhan. Saya hanya duduk mendengarkan, dan sesekali mencatat. Saya menangkap kesan, Pak Muh sedemikian menekankan kemuliaan hidup dengan mencairkan istilah-istilah yang masih terkurung rapat oleh doktrin normatif.
Betapa tidak, saya sontak terhenyak ketika Pak Muh menjelaskan konsep iblis, setan, dan malaikat, itu sebagai impersonal. Bahwa iblis adalah sifat kesombongan tatkala menganggap diri lebih terang ketimbang yang lain. Iblis adalah wujud kegagalan kita menanggapi dunia diri. Kegagalan merespon waktu. Sedangkan setan adalah keserakahan, yakni sikap mementingkan diri sendiri tatkala merespon kelangkaan sumber daya alam. Setan lahir sebagai wujud ketika kita berambisi menguasai dunia milik. Memonopoli ruang. Sementara malaikat adalah segenap kekuatan yang melatari kenyataan.
Pak Muh dengan fasih mengungkap filosofi basmalah, filosofi rukun islam, rukun iman, dan filosofi ihsan, serta konsep takwa-tawakal, konsep syukur dan sabar, soal ruang dan waktu, yang akhirnya terangkum sebagai falsafah proses. Begitu pula istilah surga dan neraka, Pak Muh ungkap sebagai situasi batin, bukan semata ruang eksklusif. Bahkan Isra dan Mikraj yang biasa dijelaskan sebagai peristiwa luar biasa, di mata Pak Muh terungkap menjadi tangga perjalanan fisikal-spiritual, yang siapa pun bisa mengungkapkannya jika menyertakan azam yang kuat. Siapa pun akan mengalami, jika ada kemauan pantang kapok menuju Tuhan.
Kisah Adam-Hawa, misalnya, Pak Muh memaknainya sebagai kiasan hidup manusia. Adam beserta Hawa diturunkan dari surga, tidak diartikan mereka turun dari sebuah taman yang berkaitan dengan taman di akhirat. Tetapi mereka memang sedari awal dihadirkan di bumi. Mereka mengalami peralihan situasi selaku hamba yang serba nyaman, meniti paradoks-paradoks fenomena tatkala harus menegakkan kalimat-Nya sebagai duta Tuhan.
Pak Muh berkonsep bahwa ada pertemuan antara samudra kenisbian alam dan samudra kemutlakan Ilahi, yang dapat ditemukan dalam diri seorang manusia. “Itulah sikap hidup,” tuturnya. “Sebagai hamba sekaligus wakil Tuhan. Selaku hamba, kita akan hadir di depan Allah mewakili semesta. Sebagai wakil, kita akan hadir di depan sesama mewakili Tuhan.”
Ya, Muhammad Zuhri. Perjumpaan terakhir saya dengan Pak Muh adalah sehari sebelum ia berpulang ke haribaan-Nya, 18 Oktober 2011. Saya kangen. Walau saya bukan murid setia, layaknya murid kepada sang guru. Namun, uraian-uraiannya tentang istilah-istilah dalam Al-Quran langsung meluruhkan semua pemahaman yang mengendap dalam benak. Dengan filosofis dan sufistiknya mengurai makna, beban saya langsung menguap lenyap.