Tiga nama capres potensial memiliki kekayaan di atas Rp1 triliun.
BARISAN.CO – Mantan Walikota New York, Michael Bloomberg telah menghabiskan sekitar US$452 juta untuk iklan sejak mengikuti pemilihan Presiden Amerika Serkat dari Partai Demokrat pada akhir November 2019, menurut perusahaan pelacakan Advertising Analytics.
Namun, pada Maret 2020, dia mundur pencalonan. Dia ikut mendirikan informasi keuangan dan perusahaan media, Bloomberg LP di tahun 1981.
Bloomberg merupakan salah satu miliarder, yang namanya masuk jajaran 15 besar orang terkaya di dunia. Berdasarkan data Forbes, per 25 Februari 2023 pkl 06.40 WIB, kekayaannya mencapai US$76,8 miliar.
Sementara, di Indonesia dari beberapa nama capres potensial untuk 2024, tiga nama di antaranya memiliki kekayaan di atas Rp1 triliun seperti disadur dari e-LHKPN.
Di urutan pertama adalah Sandiaga Uno dengan total kekayaannya mencapai Rp10.617.085.468.805.024 dan utang sebanyak Rp289.038.273.880.
Selanjutnya, Erick Thohir berada di urutan kedua dengan total kekayaan sebanyak Rp2.319.242.458.655 dan utangnya Rp165.952.084.147.
Sedangkan, di urutan ketiga, yaitu Prabowo Subianto dengan total harta kekayaan Prabowo senilai Rp2.032.478.722.760 dan utangnya sebanyak Rp8.000.000.
Sementara, nama capres potensial lainnya masih di kisaran miliaran rupiah. Namun, Puan Maharani satu-satunya dari nama capres potensial, selain Sandi, Erick, dan Prabowo yang memiliki total harta kekayaan ratusan miliar, yakni Rp397.569.636.588 dan utang sebesar Rp40.571.898.846.
Saat politisi dari latar belakang ekonomi berbeda, ditambah dengan hampir tidak adanya politisi kelas pekerja, yang dikhawatirkan hasil dari proses pembuatan kebijakan politik cenderung ke arah kepentingan ekonomi kelas atas.
Menurut sebuah studi dari Brigham Young University, Michael Jay Barber, orang Amerika merasa pemerintah tidak bekerja untuk mereka, melainkan untuk orang kaya dan berkuasa. Dalam penelitiannya itu, Barber menemukan, apa yang mungkin diharapkan dan ditakuti banyak orang adalah politisi justru lebih memerhatikan pendonor ketimbang orang lain.
Di AS, orang-orang frustrasi dengan lonjakan kekuatan plutokrat. Plutokrasi adalah sistem yang diperintah dan didominasi oleh orang terkaya. Dan, orang kaya selalu berkuasa.
Pada tahun 2014, Benjamin Page dan Martin Gilens merilis hasil studi yang mereka kerjakan selama 20 tahun pembuatan kebijakan di Kongres. Mereka menemukan, warga negara rata-rata memiliki pengaruh yang kecil atau tidak sama sekali terhadap kebijakan pemerintah federal AS.
Peluang sebuah kebijakan lolos Kongres AS pada dasarnya tidak terpengaruh oleh seberapa banyak atau sedikitnya dukungan publik. Sebab, kepentingan yang pendapatnya memang membuah perbedaan adalah yang lebih kaya.
“Pembuatan kebijakan didominasi oleh organisasi bunis yang kuat dan sejumlah kecil orang Amerika yang kaya. Dan, ketidakseimbangan kekuatan ini, secara serius mengancam klaim Amerka sebagai masyarakat demokratis,” kesimpulan studi tersebut.
Hal itu diperkuat dalam buku Kris Miler dari University of Maryland berjudul: “Poor Representation” yang diterbitkan Cambridge. Dilansir dari Niskanen Center, Kris menemukan, anggota Kongres AS di distrik-distrik dengan kemiskinan tinggi bukanlah pendukung kaum miskin. Sebaliknya, perempuan demokratis dan minoritas dari distrik perkotaan cenderung memperkenalkan undang-undang tentang kemiskinan, tetapi sulit untuk meloloskannya, meninggalkan kaum miskin tanpa perwakilan yang efektif, bahkan di saat kemiskinan meningkat.
Selain itu, Christopher Ellis dari Bucknell University dalam bukunya Puting Inequality in Context menemukan, anggota Kongres AS biasanya lebih responsif terhadap pendapat orang kaya ketimbang orang miskin di distriknya sendiri, tetapi moderat dan Demokrat di distrik kompetitif dengan serikat pekerja mewakili pendapat orang miskin. Konstituen berpenghasilan rendah kadang-kadang hanya terlihat dan kesulitan meminta pertanggungjawaban dari perwakilannya.