“Pembuatan kebijakan didominasi oleh organisasi bunis yang kuat dan sejumlah kecil orang Amerika yang kaya. Dan, ketidakseimbangan kekuatan ini, secara serius mengancam klaim Amerka sebagai masyarakat demokratis,” kesimpulan studi tersebut.
Hal itu diperkuat dalam buku Kris Miler dari University of Maryland berjudul: “Poor Representation” yang diterbitkan Cambridge. Dilansir dari Niskanen Center, Kris menemukan, anggota Kongres AS di distrik-distrik dengan kemiskinan tinggi bukanlah pendukung kaum miskin. Sebaliknya, perempuan demokratis dan minoritas dari distrik perkotaan cenderung memperkenalkan undang-undang tentang kemiskinan, tetapi sulit untuk meloloskannya, meninggalkan kaum miskin tanpa perwakilan yang efektif, bahkan di saat kemiskinan meningkat.
Selain itu, Christopher Ellis dari Bucknell University dalam bukunya Puting Inequality in Context menemukan, anggota Kongres AS biasanya lebih responsif terhadap pendapat orang kaya ketimbang orang miskin di distriknya sendiri, tetapi moderat dan Demokrat di distrik kompetitif dengan serikat pekerja mewakili pendapat orang miskin. Konstituen berpenghasilan rendah kadang-kadang hanya terlihat dan kesulitan meminta pertanggungjawaban dari perwakilannya.
Mantan Presiden AS, Donald Trump, misalnya, saat menjabat, banyak orang yang terbantu lewat Tax Cuts and Jobs Act 2017 (TCJA). Namun, pemotongan pajak itu hanya dinikmati oleh orang kaya.
Dilansir dari Guardian, pemotongan pajak US$1,5 triliun telah membantu miliarder membayar tarif yang lebih rendah daripada kelas pekerja untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Pada tahun 2018, 400 keluarga terkaya di AS membayar pajak efektif rata-rata 23%, sementara separuh rumah tangga terbawah membayar tarif sebesar 24,2%, menurut ekonom University of California di Berkeley, Emmanuel Saez dan Gabriel Zuxman dalam bukunya, The Triumph of Injustise.
Jadi, haruskah orang kaya diberi kesempatan mendominasi kebijakan? Terutama, nama Sandi, Erick, dan Prabowo pernah tersangkut dalam Panama Papers.