Dengan maraknya ancaman cybercrime dan potensi penyalahgunaan data oleh korporasi asing, kontrol penuh atas infrastruktur pembayaran adalah langkah defensif yang rasional.
Bayangkan jika sistem QRIS dioperasikan oleh perusahaan asing: data transaksi ratusan juta orang Indonesia bisa terekam di server luar negeri, rentan terhadap pengawasan pemerintah asing atau kebocoran yang merugikan konsumen.
Proteksionisme atau Perlindungan? Memahami Kebijakan Kepemilikan Asing
AS juga mengkritik pembatasan kepemilikan asing di sektor pembayaran, seperti batas 20% kepemilikan untuk perusahaan infrastruktur backend.
Kebijakan ini dinilai menghambat investasi asing. Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan regulasi serupa. India, misalnya, membatasi kepemilikan asing di perusahaan fintech hingga 49% untuk melindungi pasar domestik.
China bahkan menutup rapat sistem pembayaran digitalnya dengan kebijakan “Great Firewall”.
Pembatasan ini bukan tanpa alasan. Sektor keuangan adalah urat nadi ekonomi suatu negara.
Jika dikuasai asing, bukan hanya data yang rentan, tetapi stabilitas moneter dan kebijakan fiskal bisa dipengaruhi oleh kepentingan luar.
Krisis keuangan Asia 1998 menjadi bukti betapa liberalisasi sektor finansial yang tak terkendali bisa berujung pada kehancuran ekonomi.
Dengan membatasi kepemilikan asing, Indonesia berusaha memastikan bahwa keputusan strategis di sektor pembayaran tetap di tangan lokal, sehingga respons terhadap krisis bisa lebih cepat dan terukur.
Efisiensi Biaya dan Inklusi Keuangan
Di luar isu geopolitik dan kedaulatan, pembangunan sistem pembayaran domestik juga sangat rasional dari sisi efisiensi biaya.
Sebelum GPN dan QRIS, transaksi yang menggunakan jaringan internasional sering kali dikenakan biaya tinggi karena harus melalui switching luar negeri.
Ini bukan hanya memberatkan konsumen, tapi juga pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kini menjadi tulang punggung perekonomian.
Dengan QRIS, biaya transaksi bisa ditekan, sehingga makin banyak pelaku usaha informal yang dapat bergabung ke dalam ekosistem keuangan digital.
Ini juga berdampak positif bagi pemerintah dalam hal perluasan basis pajak dan distribusi bantuan sosial secara digital. Efisiensi ini bukan hanya soal keuntungan komersial, tapi menyangkut keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi nasional.
Agenda Nasional : Kemandirian Sistem Pembayaran
Kritik AS terhadap GPN—yang mewajibkan transaksi kartu debit/kredit diproses melalui gateway lokal—juga perlu dilihat dari perspektif sejarah.