Indonesia tetap terbuka terhadap investasi dan kerja sama internasional.
Namun, keterbukaan itu harus diletakkan dalam kerangka yang tidak mengorbankan kepentingan nasional jangka panjang.
Ketika BI menetapkan bahwa lembaga switching GPN harus berbasis di dalam negeri dan memiliki lisensi lokal, itu adalah bentuk tanggung jawab negara untuk memastikan kontrol dan transparansi dalam pengelolaan sistem pembayaran domestik. ini harus dipertahanakan karena terkait kepentingan nasional.
Perusahaan asing tetap bisa berpartisipasi, namun harus melalui kemitraan strategis dengan entitas lokal dan mendukung transfer teknologi. Ini adalah mekanisme yang adil dan berorientasi pada penguatan kapasitas dalam negeri, bukan semata-mata eksklusivitas.
Berikut hal yang bisa dilakukan oleh BI dan Pemerintah dalam negosiasai soal QRIS dengan AS:
Pertama, BI bisa membuka ruang konsultasi terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip kebijakan.
Misalnya, mengizinkan partisipasi asing dalam pengembangan teknologi QRIS dengan syarat transfer pengetahuan dan penggunaan server lokal.
Kedua, pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjelaskan bahwa QRIS bukan hambatan, tetapi peluang kolaborasi.
Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model bagi negara berkembang lain, sehingga perusahaan AS yang ingin ekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengannya.
Ketiga, Indonesia bisa mengadopsi pendekatan “interoperabilitas bertahap”.
Misalnya, memastikan QRIS kompatibel dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu, sebelum melangkah ke integrasi global.
Langkah ini akan mengurangi kekhawatiran AS sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah internasional.
Jangan Negosiasi Soal Kedaulatan Digital
QRIS dan GPN adalah representasi dari semangat Indonesia untuk membangun sistem pembayaran yang inklusif, efisien, dan berdaulat.
Kritik dari AS adalah hal yang wajar dalam dinamika perdagangan global, namun tidak bisa dijadikan alasan untuk mundur dari agenda nasional.
Justru, inisiatif ini harus diperkuat agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pemain utama dalam ekonomi digital global.
Menyerahkan kontrol QRIS kepada pihak luar negeri adalah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan ekonomi dan keamanan data rakyat.
Maka, di sinilah kita harus berdiri tegak: menjaga kemandirian dengan tetap menjalin kerja sama yang adil dan berimbang. []