Pada dasarnya ada beda bahasa dalam seni. Bahasa musik, suara. Bahasa sastra, kata. Bahasa teater, gerak. Bahasa seni lukis, garis. Bahasa garis dalam seni lukis
KONSEP lukisan saya bermula dari kesadaran bahwa, pada dasarnya ada beda bahasa dalam seni. Bahasa musik, suara. Bahasa sastra, kata. Bahasa teater, gerak. Bahasa seni lukis, garis. Bahasa garis dalam seni lukis, terkuatkan oleh sesanti filsafat keindahan (estetika) Bapak Realisme Seni Lukis Modern Indonesia S Soedjojono: estetika adalah jiwo katon, jiwa yang tertuang melalui bahasa garis. Garis bukan sekadar line, tapi bayangkan: garis tangan, garis wajah, garis hidup.
Terinspirasi garis jujur pada lukisan kanak-kanak anak-anak saya, saya mulai mengeksplore bahasa garis dalam lukisan-lukisan saya. Lalu ibarat makan gorengan mesti lebih sedap sambil ngletus cabe rawit, pedas yang saya peroleh dari keasyikan saya piknik menyaksikan lukisan-lukisan pop/kontemporer Andy Warhol atau Basquiat. Itu genre senirupa yang saya mamah biak sejak kuliah di STSRI “Asri” Yogya atau di IKIP N Semarang.
Pada awal saya melukis dalam periode karya yang dipamerkan ini, saya cukup menganvaskan lukisan-lukisan pastel/crayon saya sebelumnya. Di sini saya berusaha menuangkan bahasa garis sejujur-jujurnya.
Bersyukur memasuki era pandemi, saya suntuk melukis di gudang rumah saya. Kemudian satu-satu saya pajang di di dinding rumah saya. Hingga jadilah, saya membuka Pameran di Rumah. Pengunjung apresian cukup lumayan; dari keluarga, tetangga, hingga teman-teman sejawat.
Apresiasi makin meyakinkan konsep saya. Misalnya dari Emha Ainun Nadjib: lukisanmu tampak merdeka dan kaya makna, dan kuat di garis. Atau dari Prof Tjetjep Rohendi Rohidi, guru besar Seni Rupa Unnes. Dalam grup Semarang Outsider, dia tidak pernah berkomen. Tapi dia pernah mengomentari lukisan saya: sejak dulu saya suka lukisan Eko Tunas. Lalu belakangan dia berkomen singkat: keren, Mas Eko.
Saya berusaha keluar dari batas keindahan menurut seumumnya lukisan. Karena “jiwo” saya memang tidak di situ. Inilah kesadaran kala saya menghadapi kritik, bahwa lukisan saya sekadar coret-moret. Atau lukisan saya sekadar njlebred (seenaknya, atau cari mudahnya).
Saya katakan, bukankah jlebred adalah salahsatu tehnik melukis, disamping memulas, menggores atau mendusel. Nekad di media sosial, saya pun menyebut lukisan saya sebagai genre jlebredisme.
Ada pembebasan atau kemerdekaan menemukan diri sendiri, dalam saya berproses karya. Bagi saya, itulah yang terpenting. Lebih dari itu, bagi saya karya seni adalah pengalaman. Baik pengalaman alam maupun intelektual. Itulah yang tertuang dalam setiap karya seni, khususnya lukisan dengan bahasa garis. Kejujuran menuangkan pengalaman diri, serupa kejujuran kanak-kanak.***