Scroll untuk baca artikel
Pojok Bahasa & Filsafat

Baliho: Bukan Bahasa Pekalongan

Redaksi
×

Baliho: Bukan Bahasa Pekalongan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Baliho dalam bahasa Pekalongan berarti ucapan pamit pulang. Dalam bahasa Tegal atau Betawai, “balik ya.” Dalam bahasa Jawa wetan, “bali yo.” Nah di Pekalongan, orang yang pamit pulang akan bilang: bali ho.
+Lha opo ora ngopi disik.

  • Lha iki pak giliran ronda ra.
  • Yo wes ah, ati-ati ho.
    Ho itu pengganti ya atau yo.

Tapi saya tidak hendak membahas soal bahasa. Meski ada kata baliho lain. Yakni, baliho yang berarti poster besar yang dipasang di tempat keramaian/strategis. Bisa bertema promosi produk tertentu, himbauan dari pemerintah, atau yang bersifat politik: partai politik, seruan kampanye, atau unjuk gigi calon dari politik tertentu.

Di era orde lama, baliho masih disebut spanduk atau papan nama. Dibuat dengan cara manual dari bahan sederhana atau yang ada, misalnya gedek (anyaman bambu) yang dilapisi kertas semen. Atau berlatar tembok, jadi semacam grafiti. Di era orde baru meningkat, menggunakan bahan seng atau triplek playwood.

Seiring era reformasi kemajuan teknologi meningkat, dengan ditemukannya tehnik MMT, atau setelah jadi disebut banner. Merupakan mesin cetak berukuran besar, dengan bahan dasar plastik MMT. Lebih cepat, lebih bisa berukuran raksasa, dan sesuai perkembangan zaman metropilisme. Promosi lukisan di galeri internasional pun, lukisan bisa dicetak sebagai banner. Sebab ada plastik MMT, yang berjenis kanvas. Pada perkembangannya, tehnik ini digunakan perupa kontemporer sebagai media karya pop mereka.

Di dunia politik poster dengan teknis MMT ini sangat marak, dan menjadi rejeki tersendiri bagi pembuat banner. Di banyak kota di Indonesia mendadak bermunculan baliho dengan berbagai ukuran. Dari ukuran raksasa, besar, maupun yang sedang-sedang saja. Baliho itu berisi promosi dari tokoh-tokoh politik, yang hakikatnya menuju pemilu presiden 2024. Kampanye mencuri start ini banyak mendapat kecaman dari khayalak, nitizen, hingga budayawan Sujiwo Tejo.

Dalam satu edisi, Tempo bahkan menampilkan cover yang cukup menggelitik. Bergambar dua banner raksasa (dengan teknologi riggingnya), dengan foto Puan Maharani dan Ketua Golkar. Puan ditakpilkan sedang bersolek, dan Ketua Golkar sedang menyisir rambut klimis.

Ini adalah perayaan pemimpin parpol, pesta selebritas di dunia politik yang sangat berbau kapitalis. Sebab biaya untuk itu, di beberapa titik di beberapa kota besar, bisa mencapai milyaran. Lebih bersifat liberal, pesta atau perayaan selebrity itu justru terpampang bergaya di tengah rakyat yang sedang menderita. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga: sudah hidup mengaduh terkena Corona.

Lebih dari itu penyair Timur Suprabana pernah membuat status penyadaran. Alangkah tidak beradabnya, himbauan penggunaan plastik dipasang menggunakan banner (yang bahannya dari plastik, berukuran lebih tebal dan besar lagi!).