Ia menambahkan bahwa salah satu instrumen utama yang digunakan BI saat ini adalah Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), yang mulai diperkenalkan pada September 2023.
SRBI merupakan surat utang jangka pendek dengan tenor 6, 9, dan 12 bulan. Saat ini, SRBI menjadi instrumen utama operasi moneter BI, dengan porsi mencapai 90% dari total instrumen yang digunakan.
Awalil menyoroti bahwa SRBI memiliki underlying kepemilikan BI atas SBN, serta sekitar 25% dari instrumen ini dibeli oleh investor asing.
“Hal ini berarti bahwa SRBI yang dibeli asing tercatat sebagai utang luar negeri Bank Indonesia,” katanya.
Menurut Awalil Rizky, kebijakan BI yang semakin banyak berinvestasi di SBN perlu dievaluasi agar tidak menimbulkan risiko berlebih terhadap sistem keuangan nasional.
“Jika BI terus menambah kepemilikan SBN, maka akan semakin sulit untuk mengurangi porsinya secara perlahan. Bahkan, BI bisa mengalami ‘transaksi rugi’ karena harus membayar bunga SRBI yang lebih tinggi dibandingkan yield dari SBN yang dimilikinya,” paparnya.
Selain itu, besarnya kepemilikan BI atas SBN dapat berdampak pada sektor perbankan dan industri keuangan secara lebih luas.
“Perbankan menjadi lebih terkendala dalam penghimpunan dana karena sebagian besar likuiditas terserap dalam operasi moneter BI. Akibatnya, bank cenderung enggan untuk menyalurkan kredit ke sektor riil, yang pada akhirnya bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi,” tambahnya.
Ke depan, Awalil menilai bahwa BI perlu mengurangi kepemilikan SBN secara perlahan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan tidak menukar atau membeli kembali SBN yang telah jatuh tempo. Dengan cara ini, BI dapat menekan eksposur risiko terhadap SBN, sekaligus menjaga stabilitas moneter tanpa terlalu banyak menambah beban utang.
“BI perlu memastikan bahwa perannya tetap sesuai dengan mandat utama sebagai bank sentral, yakni menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan. Jika peran tersebut semakin bergeser ke arah pembiayaan pemerintah, maka bisa menimbulkan konsekuensi jangka panjang terhadap independensi kebijakan moneter,” pungkasnya. []